Draco POV
Hermione,
Demi apapun aku tidak mengambil perkamenmu. Tapi supaya kau tidak marah-marah lagi di asrama, aku akan mengganti perkamenmu itu. Dan yah, aku ada urusan sebentar. Tidak lama kok, aku akan kembali saat jam tidur.
Malfoy
Aku menatap surat yang kubuat itu sekali lagi, beserta perkamen baru yang kutaruh dibawahnya. Huh, aku membelikannya perkamen baru supaya dia tidak marah-marah lagi. Padahal, benar deh, bukan aku yang mengambilnya.
Teringat sesuatu, tangan kananku terangkat.
Tangan ini...yang menyentuh tangan Granger untuk pertama kalinya. Yang membantu dia pertama kalinya. Yang membuat jantungku bekerja lebih daripada biasanya.
Yeah, tadi aku membantu dia saat pelajaran herbologi. Mandrake-nya meronta terus saat mau ditimbun kompos. Dia juga salah, kenapa tidak menaruh kompos itu lebih cepat? Iya tidak, iya tidak?
***
Menara astronomi sepi seperti biasanya. Aku menatap langit hitam indah berbintang diatas Hogwarts. Heh, kenapa sebelum tertangkap aku tidak pernah sadar kalau tempat ini indah ya?
Seakan tergerak sendiri, tangan kiriku merogoh sakuku, dan mengeluarkan surat. Berupa perkamen kecil, dirobek dengan asal, ditulis dengan tangan yang gemetaran. Dan tetesan air yang mengaburkan tulisannya, menandakan orang yang menulisnya sedang menangis.
Draco sayang,
Ibu harap kau baik-baik saja di Hogwarts. Ibu tidak apa-apa. Tapi tidak dengan ayahmu. Ayahmu meninggal. Bukan, bukan meninggal. Dia jadi..gila. Kehilangan jiwanya. Dementor mengisap jiwanya berkali-kali. Ibu tidak tahu sampai kapan akan bertahan. Karena itu Draco, sebelum semua terlambat, Ibu harap kau mau memaafkan Ibu, dan juga ayahmu.
Jaga dirimu,
Ibu
Pandanganku mengabur, menandakan air mataku keluar. Tapi kutahan. Aku tahu ibu tidak akan membiarkan aku menangis.
Ayah gila? Apakah aku akan jadi sepertinya juga kalau aku masuk Azkaban nanti?
Aku tidak mau mati disana! Astaga, apa yang akan dan bisa menolongku??
Sayup-sayup kudengar langkah kaki di belakang. Siapa itu? Apa dia mau menggangguku? Atau sebenarnya dia tidak tahu ada orang disini dan ingin sendiri juga?
Kucabut tongkatku, dan menyingkir bersembunyi. Aku ingin lihat siapa itu.
"Percuma kau bersembunyi, aku tahu kau disana!"
Heh? Suara itu, sepertinya..
"Hermione?"
"First name basis, eh, Malfoy?" Dia tersenyum. "Atau, harus kupanggil, Draco?"
"Sedang apa kau disini?" Aku tidak menjawab omongan kosongnya.
"Aku ada urusan sebentar," katanya sambil mengangkat bahu. "Toh nanti aku akan kembali jam tidur."
"Jangan menyinggung isi surat yang kuberikan."
"Kalau bukan kau yang mengambil perkamenku, buat apa kau membelikan yang baru?"
"Agar kau tidak marah-marah terus."
"Jadi kau memberikan itu untuk kepentinganmu sendiri?"
"Tentu saja!"
"Harusnya aku tahu, kau tidak akan memikirkan orang lain seperti itu." Anehnya itu bukan ejekan, karena dia tersenyum simpul.
"Obviously."
"Draco, kau tahu..."
"Her..mione..."
Aku dan Hermione tersentak mendengar suara itu, lalu berbalik. Benar dugaanku, itu Weasel.
"Tersenyum...first name basis..kupikir..kau benci.."
Wajah Weasel terlihat..entahlah. Kaget,tidak terima, syok?
"Ron, please, ini tidak seperti yang kau pikir.."
"Kukira kau membenci...dia..berdua...menara astronomi..."
"Ron, dengarkan aku!"
"I'm sorry, Hermione.."
"Ron, please!"
"Aku terpaksa, Hermione,"
"Ron, jangan!"
"We're over...goodbye.."
"Tidak! Tidak! Ron, tidak!" Hermione mulai terisak. "Ron! Tunggu! Dengarkan aku dulu!"
Tapi Weasel sudah terhuyung, menuruni menara astronomi dengan cepat, tidak menoleh ke belakang lagi.
Hermione jatuh tersedu. "Ron..." isaknya.
Aku duduk disampingnya. "Maaf. Karena aku..."
Tapi Hermione menggeleng. "Tidak, bukan kau. Bukan siapa-siapa." Lalu dia menangis lagi.
Aku mencoba merangkul bahunya. Canggung, tentu saja. Tapi, apalagi yang bisa kulakukan?
Tidak diduga, Hermione membalas rangkulanku dengan memelukku erat. Dia menangis sesenggukan di bahuku. Terpaksa, aku memeluknya dan mengusap punggungnya.
"Sudahlah," bujukku. "Jangan menangis lagi."
Tapi dia tetap saja menangis. Yah, siapa yang tidak sedih kalau diputuskan seperti itu? Yang aku heran, seberapa sedih sih diputuskan Weasel? Dia kan tidak ada gunanya.
Lalu aku teringat sesuatu. Tapi, apa Hermione akan menyukainya?
Ah coba saja!
"Mione," panggilku. Dia tidak bergerak, masih menangis. "Kau mau dengar sesuatu?"
"Apa?" Aku nyaris tertawa. Lucu sekali, masih menangis, tapi penasaran juga.
"Ibuku sering menyanyikan lagu tidur saat aku masih kecil," kataku. "Mau dengar? Siapa tahu kau terhibur?"
"Yeah."
Aku berdehem, lalu bernyanyi.
Malam berlapis awan, sehari terlewati lagi..
Lavender tertiup, kering disapa dementor..
Jeritan bergaung di Azkaban, sayang..
Tapi jangan khawatir..
Aku disini, dan mereka takkan menyakitimu..
Tidurlah..bermimpilah..
Naikilah hipogriff dan tunggangilah unicorn..
Pangeran kegelapan akan kembali..
Kau dan aku tahu itu..
Tidurlah sayang..esok kau bisa memanggilnya..
Esok kau bisa menjumpainya..Saat aku selesai menyanyikan lagu itu, Hermione mengernyit.
"Apa kau tidak mimpi buruk terus saat kecil?" komentarnya. "Maksudku, dementor, azkaban, pangeran kegelapan? Astaga."
Aku terkekeh. Yah, setidaknya dia tidak menangis lagi.
"Ayo, kita harus patroli," kataku sambil bangkit.
"Yeah, ayo."
***
Yah Ron sama Mione putus. Tapi Draco jadi baik kan? :)
Yak vomment masih ditunggu,dan masih menerima kritik dan saran.
Xoxo,
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Love And War (Dramione Fanfiction)
RomanceHermione Granger Tidak kukira aku akan menyukaimu. Kau yang selalu membuat aku jatuh dalam pelukanmu, lalu saat aku lengah, kau khianati aku. Kau yang selalu menyeringai saat aku berhasil kau bodohi. Dan tak kukira juga, kau akan pergi dariku. Drac...