Sembilanbelas

1.3K 109 17
                                    

Tawa Alie hilang seketika, saat Azu menghampirinya. Alie langsung mengepalkan tangannya, lalu ia meninju Azu. Sudut bibir Azu mengeluarkan darah.

"Papa!" pekik Ai histeris. Pasalnya, Ai tidak pernah melihat papanya memukul seseorang.

"Kamu! Jauhi Putriku!" bentak Alie.

"Bisa-bisanya kamu membuat Amoi mengandung anakmu, lalu sekarang kamu berniat menikah dengan Ai," lanjut Alie dengan emosi meletup-letup.

"Apa? Tidak. Aku tidak pernah berbuat hal seperti itu," bantah Azu. Lalu, ia menatap tajam Amoi. Amoi malah menangis.

"Jangan nangis, nak."

"Benarkah begitu, Azu?" tanya Ai dengan raut wajah sedihnya.

Azu mengacak-acak rambutnya. "Ini tidak benar. Percayalah padaku, Ai. Aku mohon." Azu menatap Ai sendu.

"A-aku... Aku tidak tahu," ucap Ai lirih.

"Lebih baik kita pulang, Ai," ucap Alie, kemudian menarik tangan Ai berjalan menuju rombongannya.

"Tunggu. Raja, aku bisa menjelaskannya." Azu berusaha mencegah Alie yang membawa Ai pergi.

Alie berbalik, "aku tidak butuh penjelasan. Aku butuh bukti. Buktikanlah."

"Kalau terbukti aku tidak melakukannya, Raja harus setuju aku menikah dengan Ai."

"Buktikan saja. Setelah itu, baru nanti kita bahas," ucap Alie datar, lalu kembali menarik Ai. Ai hanya bisa diam. Papanya sudah banyak berubah selama ia tidak ada di dekat papanya.

Saat melewati Aseng dan Ayen, Alie berkata dengan nada rendah, "bawa anakmu pulang dan buktikan seperti yang ia katakan. Aku perlu kebenaran." Lalu, ia tidak melihat Aseng dan Ayen lagi. Ia menatap Ai dengan tatapan yang berbeda, "Ai, sudah makan?"

Ai mengangguk, lalu tersenyum, "sudah papa."

"Yuk, pulang. Papa mau mendengar semua ceritamu selama papa tidak ada di dekatmu."

"Siap, papa." Alie mengelus kepala Ai.

Sesampai di depan kereta kuda, Ai bertemu dengan EnEn dan Amoi. "Mama, Amoi," sapa Ai.

EnEn tersenyum. "Gimana kabarmu sayang?" tanya EnEn. Sedangkan Amoi hanya diam dalam tangisannya, tidak berniat menjawab Ai sama sekali.

"Baik, ma. Mama apa kabar?" balas Ai.

"Mama sehat-sehat saja, sayang."

"Sini naik, sayang," lanjut EnEn.

Ai menuruti ucapan EnEn, ia segera naik dan duduk di samping EnEn.

Seperginya rombongan Alie dengan membawa Ai, tersisalah Aseng, Ayen, Azu dan para pengawalnya.

Aseng yang hendak memarahi Azu, mendadak diam karena Azu menatap nalar kereta kuda yang berjalan semakin jauh.

Seseorang mengelus punggung Azu, ialah Ayen. "Sabar, anakku. Papa dan mama akan membantumu. Mama percaya kamu tidak mungkin berbuat seperti itu."

Azu berbalik, "mama percaya padaku?" tanya Azu memastikan.

"Tentu saja. Mama lebih tahu segalanya tentangmu dari pada siapapun." Ayen tersenyum lembut.

"Papa memang kurang percaya. Tapi, papa juga tidak bisa membiarkan ini semua terjadi begitu saja," ucap Aseng, lalu ia menunggang kuda pergi terlebih dahulu bersama beberapa pengawal. Sementara pengawal lainnya tengah menunggu Azu dan Ayen.

"Sebenarnya papamu sayang dan peduli sekali padamu, nak. Jangan kecewakan papamu, ya."

"Iya, ma. Aku tidak akan kecewakan papa."

HUANG [Dreame/Innovel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang