2. Ardia

453 209 184
                                    

"ARDIA?!"

Ketiganya serempak berteriak. Mereka saling pandang, kemudian tertawa terbahak-bahak.

Rizal yang lebih dulu sadar menepuk bahu Ardi berkali-kali, sambil menggumam, "akhirnya."

Yang lain tampak masih menikmati euforia kekagetan mereka.

Ardi membekap mulut Adit dengan tangan kanan, dan Rizki dengan tangan kiri, membuatnya seperti tanda silang. "Diem! Kalian malu-maluin!"

Untung bel istirahat telah berbunyi, jadi siswa di kelas tinggal beberapa orang saja. Jika kelas masih ramai mungkin Ardi akan sangat malu karena Rizki dan Adit tak henti berucap, "Ardia."

"Akhirnya, Di, akhirnya." Rizal masih setia dengan kata-katanya sambil menepuk berkali-kali pundak Ardi.

Ardi menyingkirkan tangan Rizal dengan kasar dari bahunya. "Berisik! Akhirnya apaan?"

"Akhirnya." Ia tak bisa berhenti tertawa.

Adit berusaha melepas bekapan Ardi, sementara Rizki sibuk meminta bantuan Rizal yang malah keasikan sendiri dengan 'akhirnya'.

"Dhi lephashin hemptt," pinta Adit nelangsa dan tak jelas di telinga Ardi.

Ardi melirik sengit kedua korbannya. "Tapi janji lo-lo bakal diem?!"

Mereka serempak mengangguk.

Baru sedetik Ardi melepaskan bekapannya, ia segera membekap mereka kembali. Karena Adit dan Rizki langsung terbahak dengan nama Ardia di sela tawanya.

"Gue bilang, DIEM!" sentak Ardi tepat di wajah mereka berdua. Keduanya mengacuhkan Ardi dan kini sedang menepuk-nepuk tangan yang berada di depan mulut masing-masing.

"Phantheshant lho ghak mhau shamha Kharheinha, thernyahata uhdhah adha Arhdhia thoh." Rizki berucap 'pantesan lo gak mau sama Kareina, ternyata udah ada Ardia toh' dengan susah payah, diakhiri tawa.

Rizal berada di garis aman, jauh dari jangkauan Ardi. Ia terus-terusan mengucap syukur dan menggumam, "akhirnya." Si ketua kelas memperhatikan raut wajah Ardi, yang sangat tak enak dipandang, dengan seksama lalu mendadak rautnya sendiri terlihat cemas. "Di?" ucapnya tak yakin.

Ardi melotot murka pada Rizal. "Apa?!"

"Di?"

"Apa?!"

"Ardi."

"APA Rizal bolot?!"

Rizal mengusap tengkuknya. "Ardia itu cewek apa cowok yah?" ucapnya cepat.

Bola mata Ardi tampak akan keluar dari tempatnya. "Ya lo pikir aja, bego!"

"Gue gak tau, Di, makanya gue nanya."

Ardi berusaha menjangkau Rizal dengan sepatu, namun nihil. Rizal terlalu jauh. Sementara dua orang sanderanya menatap Rizal seakan menanyakan kebodohan yang ia perbuat.

"Cewek," ketusnya.

Tawa Rizal kembali terdengar, makin keras malah. "Whoa, akhirnya gue bisa jadi akhirnya."

"Lo ngomong apaan sih, Zal?"

Rizal nyengir. "Akhirnya, Di!" Ia menatap kasihan adiknya. "Lepasin kembaran gue sama si curut satu, elah."

"Akhirnya apa dulu?!"

"Lepasin dulu!"

Dengan berat hati Ardi melepaskan dua tawanannya. "Tuh." Ia mendorong belakang kepala keduanya.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang