Accident itu terjadi tanpa peringatan sama sekali. Terkesan mengabur memang, tapi yang terjadi, ya terjadi.
Dimas berjalan mendekat dengan kerutan-kerutan dalam yang menghiasi keningnya. Kunci mobil sudah ia simpan di saku celana, sementara tangan kanannya masih menggenggam kresek putih kecil milik Ardia, gadisnya.
Rautnya yang tak bisa dijelaskan, membuat ketiga orang yang berada di sana, sama-sama menaikan alis untuk alasan yang berbeda.
Pertama, Ardi, ia menaikan alis terlihat agak heran.
Keheranan melandanya kala ia melihat kedua orang yang, entah kenapa baru ia sadari berjalan mendekat, kini sudah berdiri di hadapannya. Pandangannya bertemu dengan Dimas. Ia menyadari ada sebersit rasa tak suka yang terpancar dari manik itu ketika menatapnya.
Mungkin, Dimas tak suka jika ia ada di sini?
Tapi kenapa?
Atau mungkin, Dimas tak suka jika ia ada di dekat Ardia saat ini?
Itu agak masuk akal, mengingat tautan tangan yang pernah Ardi lihat antara Dimas dan Ardia kemarin. Tapi ia tak mempermasalahkan, lebih tepatnya, ia tak mau menebak-nebak. Biar saja Dimas tak suka padanya. Itu tak penting. Setidaknya, menurutnya begitu.
Lalu fokusnya berpindah ke samping. Kareina. Ardi sempat menahan mati-matian agar bola matanya tak berputar saat bertemu pandang dengan gadis pengganggunya itu. Tak banyak yang Ardi lihat di sana, karena ia segera mengalihkan pandangan begitu maniknya bertemu dengan milik Karei. Tapi, Ardi sempat melihat ada raut bingung dari air muka Karei. Dan itu cukup untuk memunculkan spekulasi dalam benak Ardi.
Mungkin, Karei bingung melihat ia ada di sini?
Sama seperti Dimas.
Atau mungkin, Karei bingung melihatnya bersama Ardia saat ini?
Biar saja. Ardi tak perduli. Ardi tak mau membuang-buang waktu untuk memikirkan apa isi kepala gadis itu.
Ia saja tak mempermasalahkan kenapa mereka--Dimas dan Karei--turun dari mobil yang sama, berdiri berdampingan, dan mengahadap sekaligus menghujaninya dengan tatapan menyelidik, yang sangat mengganggu.
Setelah membuang napas kasar, ia mengalihkan pandangan. Dengan alasan tak jelas, Ardi ingin melihat bagaimana raut Ardia saat ini. Pertemuan ini pasti diluar dugaan gadis itu. Ia mencoba menoleh ke kanan, menghindari tatapan dua orang lain, dan segera memusatkan perhatiannya pada gadis beriris cokelat madu di sampingnya. Tapi sayang, karena posisi yang tak menguntungkan, Ardi tak bisa melihat apa yang terpancar dari diri Ardia melalui matanya. Ia hanya bisa menebak, dan semoga tebakannya tepat, Ardia lebih heran dari dirinya.
Kedua, Ardia, ia menaikan alis terlihat takut sekaligus cemas.
Setiap detik yang berlalu seperti menambah ketakutan juga rasa cemasnya saja. Sepertinya ini tidak baik untuk kesehatannya. Karena, rasa takut dan cemas yang berlebihan menyebabkan debaran jantungnya meningkat dua kali lipat, jantungnya seperti sengaja memompa dengan kecepatan tak terkira. Dan ia tidak suka ini.
Ardia tak sanggup menatap langsung manik Dimas, jadi sejak tadi ia hanya menunduk, menunggu seseorang yang berbaik hati akan membuka percakapan, dan mengusir rasa takut, cemas, dan, oh, sekarang bertambah menjadi canggung. Ia mengangkat wajah, mengingat perkataan Bunda, dan melihat takut-takut Dimas. Ardia meringis menyadari raut itu. Ia yakin, pacarnya sedang dilanda api cemburu. Dan, ini karena salahnya!
Terakhir, Karei, ia menaikan alis terlihat agak bingung.
Kebingungan melandaya kala rumus-rumus yang sudah tersusun rapi berontak agar segera diselesaikan. Ia masih berusaha memahami keadaan. Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa mereka berempat bisa berada, saat ini, di tempat, waktu, dan keadaan yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regret
Teen FictionArdi masih setia mengejar Ardia si manis adik kelasnya yang sebenarnya sudah memiliki kekasih. Meskipun laki-laki itu tahu ada Kareina yang selalu menunggunya jika ia sudah lelah mengejar sang fatamorgana. Tapi entah mengapa Ardi tak kunjung melirik...