6. Seminggu

236 106 109
                                    

Seminggu berlalu setelah pertemuan, perkelahian, dan ciuman, di sore yang mendung tapi tak memaksa cairan berupa bentuk keberkahan dari Tuhan itu turun.

Kini, Karei sedang berjalan dengan langkah selebar yang bisa dilakukan kaki jenjangnya di sepanjang koridor. Sesekali tersenyum ramah pada setiap orang yang ia temui, sambil memikirkan apa saja yang ia ingat dalam rentang waktu tujuh hari itu.

Di hari pertama, Karei ingat ia bertukar sapa dengan Ardia di koriodor. Seperti teman lama, mereka tampak akrab saat berjalan berdampingan sambil membicarakan tokoh fiksi favorite keduanya. Yang ternyata, Karei dan Ardia sama-sama menyukai Percy Jackson, tokoh dalam dua seri novel bestseller karya Rick Riordan. Mereka bahkan masih sempat-sempatnya mendebatkan perlakuan Dewi Hera pada Jason Grace, di tengah koridor saat bel sudah berbunyi.

Dari percakapan itu Karei jadi tahu, Ardia pacarnya Dimas. Walaupun melenceng dari topik, tapi informasi kedekatan keduanya, yang baru diketahui Karei, menarik perhatian gadis itu.

Entah apa yang Karei rasakan saat mengetahui kenyataan itu.

Sejujurnya, Karei selalu merasakan darahnya berdesir setiap di dekat Dimas, dan ia tak tahu apa artinya. Ketika mendengar Dimas sudah memiliki pacar, entahlah, rasanya seolah-olah hanya warna kesukaan Karei yang mendominasi.

Monochrome.

Rasanya hanya, hitam putih.

Tapi demi kesopanan, ia tetap memberikan selamat dengan setulus mungkin. Mereka tak membahas kejadian Rabu sore lalu, dan setelah hari itu, keduanya tidak bertemu lagi sampai beberapa hari selanjutnya.

Di lain hari Karei sempat heran karena tak menemukan Ardi di lapangan basket. Karena biasanya, tiap pagi laki-laki itu akan latihan untuk menghadapi turnamen beberapa minggu lagi, dan tentu saja, Karei tak pernah absen memperhatikan cara Ardi mengutak-atik bola dengan kedua tangannya. Karei mencoba mencari tahu, yang kemudian, di hari ketiga, ia mendapat jawaban dari Dinda, teman sekelas Ardi sekaligus rekannya di OSIS, cowok itu sakit. Mungkin babak belur adalah salah satu penyebab orangtua Ardi mengirimkan surat izin kepada sekolah.

"Baru dateng, Rei?"

Merasa terpanggil, gadis dengan sweater putih tulang itu menoleh ke samping kiri.

"Iya, Din." Karei tersenyum. Panjang umur sekali Dinda. Baru saja Karei pikirkan, sekarang sudah ada di hadapan.

Dinda manggut-manggut. Gadis mungil berponi itu berdiri di sisi koridor, seberang pintu masuk kelasnya. Tangan kanannya memegang buku besar berwarna hampir pudar. "Ini, makasih ya," ia menyodorkan buku itu pada Karei, disertai senyum kikuk.

Karei mengambilnya. "Oh?" Ia mengecek sampul buku, yang berjudul Kalau tak Untung karya Selasih. "Oke, sama-sama." Ia balas tersenyum.

"Kalo gitu gue masuk, ya," ucap Dinda sambil segera memasuki kelas yang masih kosong.

Karei terkekeh, menyumpal kedua telinganya dengan headset agar tak ada lagi yang menginterupsi jalan cepatnya.

Saat berbelok, Karei tersenyum kecil mengingat Dinda. Dinda memang pemalu orangnya. Dan, soal buku tadi, itu adalah novel lama milik Karei, yang Dinda pinjam saat ia menanyakan keadaan Ardi pada gadis mungil itu.

Oh iya, ingat Dinda, Karei jadi ingat Ardi.

Setelah Ardi pingsan di dekapan Karei beberapa waktu lalu, Karei segera memohon pada Dimas agar mengantarkan Ardi ke rumah sakit. Karena baik ia, Dimas, atau pun Ardia, tidak ada yang tahu tempat tinggal Ardi. Akhirnya dengan banyak bujukan dan paksaan Dimas mau mengantar Ardi menggunakan mobilnya, motornya juga ia antarkan setelah orangtua Ardi datang ke rumah sakit dan memberikan alamat rumah mereka. Karei tak ikut, karena ia harus membereskan kekacauan yang mereka timbulkan di ruang tamu rumah Ardia bersama gadis coklat madunya, dan Pak satpam yang berbaik hati telah membantu mereka.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang