4. Pertemuan

311 129 218
                                    

Pertemuan mungkin memang ditakdirkan untuk menyisakan kenangan. Walaupun secuil, pastinya membekas diingatan. Terutama pertemuan dengan orang-orang yang, secara tak sengaja, memiliki hubungan dengan kita.

Seperti hari ini, pertemuan-pertemuan beruntun menghampiri gadis yang sedang duduk menyamping di jok belakang motor laki-laki berjaket abu-abu serasi dengan celana yang dipakainya. Berawal dengan tak sengajanya ia bertemu Kareina, rekan pacarnya, saat membantu guru. Kemudian ditarik paksa Ardi, orang yang ia tabrak kemarin, karena titahan kakak sepupunya.

Mungkin yang kedua Ardia anggap sebagai kesialan.

Karena walau bagaimana pun, gadis beriris cokelat madu itu mempunyai pacar. Dan berduaan dengan laki-laki lain, apalagi tanpa sepengetahuan sang pacar, adalah salah menurutnya.

Diam-diam Ardia berdoa agar Dimas tak segera pulang dari tugasnya. Ia tak ingin ada ke-salah pahaman apapun dengan yang terjadi saat ini.

"Belokan depan kanan atau kiri?"

Suara samar terbawa angin sampai ke pendengaran Ardia, mengaburkan sedikit lamunanya. Ia melongok ke depan. "Kanan," jawabnya saat melihat pertigaan setelah pintu gerbang kompleks. "Abis itu lurus terus, kalo keliatan mesjid warna merah marun belok kiri, lurus lagi sampe ketemu pager warna putih, Kak." Ia menjelaskan dengan rinci kepada Ardi, ojek pribadinya hari ini.

Ya, Ardia pulang bersama Ardi. Dengan sangat terpaksa, ia menerima ajakan laki-laki itu karena tak ada cara lain untuk menolak. Ditambah hari ini Dimas sedang ada kegiatan di luar sekolah, jadi tak ada orang lain yang bisa ia ajak pulang. Oh, ralat. Bukan tak ada orang lain. Sebenarnya masih ada Fauzi, kakak sepupunya, yang bisa ditebengi. Tapi nasib sial memang berpihak untuk Ardia, Fauzi malah ada kegiatan mendadak dengan ekstra kulikulernya. Setelah Ardia mencak-mencak pada kakak sepupunya tadi, ia memutuskan untuk naik bus.

Jadi ada untungnya juga ajakan Ardi.

Ngirit ongkos.

Motor besar yang ditumpangi muda-mudi itu berhenti di depan pagar tinggi rumah bercat putih dengan gaya minimalis milik keluarga Sentanu.

Ardia turun sambil melepas helm yang ia pakai. "Makasih, Kak."

"Gak masalah." Ardi ikut turun. Helmnya ia simpan di atas motor.

"Mau mampir dulu?" tanya Ardia basa-basi.

Ardi terdiam sejenak, sambil memperhatikan rumah yang memancarkan aura nyaman di hadapannya. Ia pura-pura berpikir. "Gimana, ya?"

"Emm, Kakak kan harus basket?" Tangan Ardia sedikit mengeluarkan keringat. Ia berdoa mati-matian agar Ardi menolak tawaran abal-abalnya. Tadinya ia tak sungguh-sungguh menawari Ardi masuk. Mereka baru bertemu kemarin, dan itu hanya sebatas kesopanan. Tapi apa jadinya jika Ardi benar-benar memutuskan untuk mampir? Lalu tiba-tiba datang Dimas ke rumahnya? Memergoki mereka?

Memergoki?

Ardia tertawa sinis dalam hati. Memangnya apa yang akan mereka lakukan di dalam? Ia memutar otak. Menanyakan hal itu lagi kepada hatinya. Memangnya apa yang akan mereka lakukan di dalam? Tiba-tiba adegan-adegan dalam film Korea yang sering ditontonnya seperti sengaja diputar satu persatu dalam kepalanya.

Laki-laki dan perempuan.

Berduaan.

Tak ada orang.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang