New York, 2017
Kota New York disore hari sangat indah. Tapi sayang, polusi menghalangi keindahan langit senja. Aku sedang berada di balkon kamarku, menikmati udara kotor. Angin yang berhembus menerbangkan rambut panjangku yang dibiarkan tergerai. Suara bising kendaran seolah tak terdengar, pikiran ku melayang tak terarah. Aku merasa kesepian.
Kenapa aku kesepian? Karena aku sendirian, aku anak tunggal. Anak satu-satunya dari sepasang suami istri yang berstatus sebagai professor terhebat sepanjang masa, ah maksud ku professor gadungan. Setidaknya seperti itulah orang memanggil mereka.
Aku sedikit kewalahan mendengarkan cemoohan orang-orang tentang kedua orang tuaku. Membuat perasaanku bercampur aduk; sedih, kecewa dan marah. Tidak ada pundak untuk aku jadikan tempat sandaran. Aku benar-benar sendirian menghadapi semuanya. Hingga aku lelah, dan mencoba berpura-pura tak mendengar apa kata orang.
Hah. Aku menguap. Teringat lagi masa itu. Masa dimana semuanya menjadi kacau. Aku yang masih kecil, yang belum mengerti apa-apa, harus menjalani hidup seberat ini. Aku benci. Aku marah. Aku meronta. Tapi tangan mungilku waktu itu tidak sanggup melawan beribu manusia. Aku berteriak. Tapi suaraku kalah dengan makian beribu orang. Aku meyakinkan diriku, bahwa orang tuaku saat itu tidak salah. Aku tak pernah berhenti berdo'a kepada Tuhan agar orang tuaku dibebaskan. Dan benar, tak lama orang tuaku bebas. Mereka kembali memeluk tubuh mungilku, hingga saat ini.
Aku menjambak rambutku sendiri. Kenapa bisa pikiranku kembali melayang kesana. Padahal sebagian memoriku tentang itu hilang. Aku tak mengingat kejadian saat itu sepenuhnya.
Tiba-tiba ponselku berdering. Menampilkan nama Shane dibalik layar. Dia mengirimkan pesan.
Shane: Aku tahu, kau tengah kesepian bukan. Eh? Seperti biasa kau memang selalu seperti itu, sendirian. Cepatlah cari kekasih sepertiku, aku jadi mempunyai pundak sekarang. Haha aku hanya bergurau. Datang lah kemari nanti malam, kan ku bawa kau ke sebuah club baru.
Aku mengernyit membaca pesan dari Shane. Sialan, umpatku.
Adreanna: Kau berniat mengajakku ke club atau mengejekku? Sialan. Awas kau, akan ku cekik lehermu nanti malam tepat jam delapan. Tunggu aku, Shane terkutuk!
Lalu akupun menekan tombol send.
Shane adalah sahabat ku satu-satunya. Dia adalah sahabat terbaik sekaligus sahabat ternorak yang aku punya. Sayangnya aku sayang, jika tidak, aku sudah mencekik lehernya sedari dulu karena sikapnya yang menyebalkan dan norak itu.
Ah aku terlalu banyak bercerita ya? Aku Adreanna Karalyn. Gadis manis yang keras kepala, tapi aku berani juga pemikir yang hebat. Aku sedang tidak memuji diriku sendiri, itu memang fakta. Dan aku sedikit agresif.
"Rean cepatlah turun!" Ibu memanggilku dengan suaranya yang nyaring dari lantai bawah, membuat gendang telingaku sedikit berdengung.
Tanpa menunggu waktu lama, aku segera berlari menuruni anak tangga. Tapi tak ada ibu disini. Aku bergegas berlari ke dapur, tak ada dirinya juga disana. Aku sudah geram, mengepalkan tanganku. "Ibu kau dimana! Cepat beritahu jangan membuatku lelah karena mencarimu!" kataku kesal.
"Ah ibu lupa. Sini sayang ibu ada di lorong bawah tanah"
Aku menghentakkan kaki kesal. Berlari dalam sekejap kedepan sebuah pintu yang sudah kumuh. Aku menautkan kedua alisku, untuk apa ibu ada dilorong bawah tanah? Lantas tanganku dengan sigap membuka pintu itu, dan kakiku dengan cepat menuruni anak tangga yang sudah berdebu.
Sudah lama sekali aku tak menginjakkan kaki ke lorong ini. Ku lihat dinding-dindingnya penuh dengan sarang laba-laba, dan lantainya penuh dengan debu. Aku mengibaskan tanganku saat hampir saja wajahku terkena sarang laba-laba yang menjijikkan itu.
"Ayah? Ibu? Sedang apa kalian disini? Dan benda apa itu yang sedang kalian pegang?"
Mereka terlihat kaget dan langsung menutup benda yang menurutku seperti lemari itu dengan kain putih yang besar.
"Ah anak ayah udah besar ya?" Kata Ayah sembari mengecup keningku. Aku mengernyit bingung.
"Benda apa itu?" tanyaku dengan tangan memegang benda tadi- bemaksud ingin membuka kainnya.
"Jangan pernah menyentuh benda itu!" kata mereka tegas membuatku semakin bingung.
"Baiklah-baiklah" Aku mengangkat tangan ku. "Jadi, ada apa memanggilku kesini?"
"Tolong bantu ayah dan ibu membersihkan ruangan ini" Ibu, dengan senyumannya memberikan sebuah sapu.
Aku kembali mengernyit. Menatap mereka bergantian. Untuk apa ruangan bawah tanah ini dibersihkan? Toh tempat ini tidak pernah dipakai.
"Bersihkan sekarang atau-"
"Iya baiklah" aku memotong perkataan Ayah.
Dengan hati yang enggan, aku mulai menyapu lantai.
***
Badanku terasa pegal-pegal. Tubuhku lengket dan sedikit bau. Lelah bukan main. Membereskan tempat kotor memang banyak menguras tenaga.
Ku basuh tubuhku dengan air dingin. Segar. Mandi memang satu-satunya cara untuk menyegarkan tubuh. Tapi pikiranku tak sesegar tubuhku. Aku kembali teringat benda itu. Benda yang membuatku merasa deja vu. Tapi kenapa? Bukankah aku baru pertama kali melihat benda itu? Tapi rasa-rasanya aku pernah melihatnya diwaktu yang lalu. Tapi kapan?
Dengan gerakan cepat aku mengeringkan pakaian ku dan membalutnya dengan tsrit berwarna merah muda serta celana jins dengan model sobek-sobek. Aku menyisir rambutku asal dan mengoles lipblam ke bibirku. Lantas aku membawa tas kecil yang berisi uang, ponsel, serta power bank. Aku berlari, menuju pintu. Ah tunggu, aku lupa memakai jam tangan. Jam tangan adalah sesuatu yang penting agar aku tidak lupa waktu.
Aku menuruni tangga dengan langkah yang memburu.
"Mau kemana" ah suara ibu mengagetkan ku.
"Ke rumah Shane"
"Baiklah, jangan pulang terlalu malam. Ayah dan ibu ada keperluan mendadak dan akan pulang besok" Ayah mengecup puncak kepalaku.
Jujur, aku sedikit jengkel. Mereka terlalu sering pergi keluar dan melupakanku. Membiarkan aku pergi begitu saja tanpa memperdulikanku.
Setelah mereka pergi, aku turun ke loroh bawah tanah karena rasa penasaranku yang terlalu memburu. Aku menatap sesuatu yang tertutup kain putih itu. Ku singkirkan kainnya. Aku mengernyit, benda apa ini? Ini seperti sebuah lemari antik. Ku buka pintunya, ternyata ada beberapa tombol disana. Lantas aku memencet tombol hitam.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Tiba-tiba ada lubang besar dan hitam di hadapanku. Lubang itu seolah-olah menarikku. Aku tersedot. Tubuhku tak bisa melawan. Semuanya hitam dan aku seperti berputar-putar. Rasanya begitu pusing dan memualkan. Aku mencoba memejamkan mata.
Ketika ku buka mata, tubuhku tak lagi berputar, hanya saja kepala ku sedikit pening. Tunggu tunggu, dimana aku? Jangan bilang aku ada di atas perahu.
Ini dimana? Kenapa aku ada di atas perahu di tepi danau? Kenapa yang ada di sekeliling ku hanyalah air dan pepohonan? Apa ini mimpi? Aku mencoba membasuh mukaku dengan air danau itu, dingin. Dan aku tahu, ini bukan mimpi buruk apalagi mimpi indah. Ini nyata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Làthos
Fiksi Ilmiah#177 dalam Science Fiction 23 Februari 2017 Kisah ini tentang Adreanna yang kembali ke zaman dimana teknologi belum ada sama sekali. Semua itu gara-gara mesin waktu. Bagaimana Adreanna bisa bertahan hidup? Bisakah dia kembali kemasanya? Lalu, bagaim...