1. KIPAS ANGIN MENENGOK

416 25 31
                                    


Ternyata sampai aku pindah ke kamar suamiku, kipas angin tua itu masih di sana. Di atas meja di samping tempat tidurnya. Kipas angin jadul dengan bentuk kaku dan warna kusam itu suaranya sangat menganggu karena putaran kipasnya sudah tidak selancar dulu. Tuas pemutar kepalanya juga sering macet, hingga ketika ia menoleh ada bunyi "gretek-gretek" yang menakutkan, seirama dengan menengoknya bagian kepala kipas.

Dulu, sewaktu kami belum menikah, aku sering mencandainya soal kipas itu. Kubilang padanya bahwa jaring-jaring kepala kipas itu bisa dibikin kandang burung. Dia tertawa, dia bilang aku kreatif.

Sekarang setelah tinggal serumah, dan sering berada di kamar yang sama, aku jadi merasa sedikit bersalah pada kipas itu. Dan walaupun bentuknya sedikit mengingatkanku pada benda keramat, barangkali kipas ini menyimpan kenangan masa kecil suamiku. Tapi tetap saja aku sering tercekat ketika melihat kipas angin itu menoleh ke arahku, menatapku beku.

Kadang aku merasa waspada dan mengawasi kipas itu. Sebab dalam beberapa kasus kipas itu sedikit mencurigakan. Ia seperti melihat ke arahku setiap kali aku tidur memunggunginya. Bahkan malam pertama kami (yang tertunda beberapa hari setelah resepsi pernikahan karena lelah) gagal karena aku merasa terganggu suara kipas angin itu.

"Lhoh, kenapa?"

"Nanti ajalah Mas, aku lagi gak enak hati, "

"Ya sudah gak apa-apa, "

Untunglah suamiku itu orang yang sabar dan santai. Ia tidak terburu-buru "meminta". Dan ia selalu manut bila aku menginginkan sesuatu (Seperti bertukar posisi tidur demi menghindari tatapan kipas itu atau sekadar memeluk untuk melindungiku).

Pada malam ketiga aku masih perawan. Dan selalu merasa terganggu ketika mendengar suara kipas angin itu.

"Kenapa lagi?"

Aku beranjak kemudian menjulurkan tanganku menekan tombol off pada dudukan kipas. Namun kincir kipas itu tidak mau berhenti. Aku menekannya berkali-kali berusaha mematikannya. Kipas itu seakan melawan dengan bunyi kincirnya yang kian kencang dan mengerikan.

"Gak usah emosi, dong." Jari suamiku itu mematikannya dengan sekali tekan.

"Kalau lagi gak enak hati, gak apa-apa, mending tidur aja."

"Iya," Aku menarik napas lelah. Aku memang belum menceritakan ketakutanku perihal kipas itu kepadanya. Aku takut ia menyebutku konyol atau berlebihan.

Aku 'pun berbaring dan berusaha memejamkan mata. Sambil bercakap-cakap kantuk mulai memberati mataku. Kulihat suamiku juga sudah merem-melek. Dalam beberapa menit aku terlelap. Pikiranku hanyut dan mengambang. Antara sadar dan tidak sadar aku mendengar bunyi "gretek-gretek" dari kipas angin tua itu. Bunyi yang berulang-ulang seperti mantra menakuti.

Aku terbangun. Kulihat suamiku sudah terlelap. Pelan-pelan kujenguk kipas itu. Baling-balingnya berputar seperti biasa namun dari sela jaring-jaringnya meleleh cairan berwarna merah. Semakin lama semakin meluber ke mana-mana. Darah! Kutatap kipas itu lekat-lekat seakan tak percaya. Sebuah kepala tak utuh dengan mulut menganga berada di dalam jejaringnya. Kepalaku! Aku tersentak dan bangun dari tidurku. Ternyata hanya mimpi. Rasanya seperti nyata. Barangkali aku memang berlebihan. Kutatap suamiku yang sudah terlelap, lalu kujenguk jam dinding di atas tempat tidur, baru pukul setengah dua dini hari. Mendadak aku merasa sesuatu menarik rambutku semakin lama semakin kuat hingga kulit kepalaku hampir terkelupas. Aku menoleh dan menemukan kipas angin itu sedang menggulung rambutku. Aku berusaha melepaskannya namun semakin lama putaran kipas itu semakin kuat membuat kepalaku ikut tertarik ke arahnya. Aku mulai cemas, kubangunkan suamiku berkali-kali namun ia tetap tidak berkutik. Aku menarik-narik rambutku sambil berteriak minta tolong.

KIPAS ANGIN MENENGOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang