Waktu umurku tiga tahun, aku melihat seorang bapak-bapak terlindas truk kontainer dan badannya terbelah dua. Dalam keadaan tanpa kaki dan pinggang berlumur darah penuh cecelan daging, pria itu berteriak-teriak mengerikan di antara bising kendaraan, suara klakson dan hiruk-pikuk orang yang menyaksikan. Lamat-lamat dalam pikiranku, gesek roda pada aspal menjadi sangat mengerikan. Ban dan velg mobil itu seperti bernapas memburu udara. Mereka hidup dan membisikan ancaman-ancaman yang sangat menakutkan.Saat kuceritakan hal ini pada ayah, ayah tidak memercayainya. Tetapi hingga aku duduk di bangku SMP aku masih takut berurusan dengan mesin.
"Rio, tolong matikan blender ibu, Nak,"
Aku pura-pura tidak dengar dan masih asyik dengan komik di pangkuanku. Sejujurnya aku takut pada blender. Ia mesin dan tak bisa dimengert. Kadang macet, kadang mati total, kadang pula bisa menyala sedia kala tanpa gangguan. Bukankah hal itu mengerikan? Bagaimana kalau blender itu betulan hidup dan pisau di dasarnya terbang memotong leherku?
"Rio kamu denger gak sih ibu ngomong,"
"Ibu kan tahu aku ga mau berurusan dengan mesin,"
"Umur kamu sudah tiga belas tahun, masa sama apa-apa masih takut?"
Suara desir pisau yang berputar di dasar blender itu meneror batinku. Lembut dan hening seolah tak ada suara apa-apa lagi di dunia ini kecuali desiran dua pisau di dasar blender yang mencengkeram jantungku.
"Ini blender kenapa sih, i," ibu menekan-nekan tombol untuk mematikan benda sialan itu. Mendadak jantungku berdegup kencang. Keringat dingin mengalir pelan dari pelipis ke dagu. Aku takut apa yang kupikirkan terjadi. Aku takut mesin-mesin itu benar-benar hidup.
"Ah, sialan, macet lagi," ibu mencabut kabel yang tersambung ke stop kontak hingga blender itu mati dengan sempurna.
Tidak hanya blender tapi aku juga takut pada handphone, televisi, lampu, kipas angin, mobil, motor, dan bahkan lubang terminal untuk menyolokan mesin-mesin itu. Bagiku semua benda itu tampak mencurigakan. Mereka kadang tak mau hidup dan kadang menyala dengan suara raung yang terdengar bagai kemarahan.
"Ini cuma macet, ada komponennya yang sudah tua. Kalau sudah diservice nanti bener lagi kok," begitu kata Mang Kardi, pembantu di rumah kami. Tapi tetap saja aku tak bisa mengerti mengapa benda-benda itu tampak sangat mengerikan di pikiranku.
Dan sialnya, ayahku seorang bos angkot. Ia memiliki 24 angkot di halaman depan dan selalu terdengar suara meraung-raung serta jerit klakson setiap pagi. Kata ayah, bila aku besar nanti, akulah yang melanjutkan pekerjaannya. Meski demikian aku lebih suka berurusan dengan tumbuh-tumbuhan di halaman belakang. Aku ingin menjadi petani.
Di kamarku sendiri tak ada alat-alat mekanis kecuali kampu tidur. Aku tidak mau pasang AC atau kipas angin karena bagiku mereka mesin yang terlalu besar dan tidak bisa dikendalikan. Bagaimana kalau mereka merencanakan pembunuhan selama aku tidur?
Sungguh sangat meneror hidupku harus menyaksikan mesin ada di mana-mana. Hal ini membuatku harus bangun lebih pagi untuk jalan kaki ke sekolah dan melewati gang-gang sempit untuk meminimalisir pertemuan dengan sepeda motor dan mobil-mobil raksasa. Bayangan pria yang terlindas truk di masa aku kecil itu tak bisa lenyap sama sekali. Aku pikir truk itu memakan sebagian tubuhnya.
Karena keanehanku ini aku jadi tak punya teman. Aku tak bisa menjalankan komputer atau mempraktekan pelajaran-pelajaran yang diajarkan guru komputer. Aku dianggap bodh oleh guru dan teman-temanku. Aku juga tak berani mematikan saklar lampu sendiri, tak berani menonton tv jika tak ada orang lain di sampingku, dan tak punya ponsel meski ayah berkali-kali menawariku untuk memilih tipe-tipe terbaru.
Aku sendiri tak merasa aneh dengan sikapku ini. Aku merasa nyaman tidak berurusan dengan mesin secara langsung. Aku pernah menyaksikan petugas listrik gosong terbakar di atas gardu yang meledak, seorang petani masuk ke dalam roda traktor pembajak sawah, dan kecelakaan-kecelakaan lain yang melibatkan mesin. Hal itu sudah cukup untuk meyakinkan diri agar tidak terlalu banyak berdekatan dengan benda yang tidak kumengerti pergerakannya dan cara kerjanya.
Suatu hari kepala desa datang ke rumah kami dan bercakap-cakap dengan ayahku. Beberapa setelah kepala desa pergi, ayahku memasang wajah muram.
"Kenapa yah?" tanya ibu. Ayah tak menjawab, ia menggiring ibu ke kamar dan berbicara di sana. Aku yang duduk di ruang televisi bersama Mbok Inah hanya mendengar lamat-lamat soal tanah pesawahan yang hendak dijadikan bandara.
"Gak bisa gitu dong, Bu, tanah itu punya Mang Imron, Mang Ali, dan Mang Dakir, mereka teman dekat ayah. Kompensasinya terlalu sedikit, kalau tanah itu dijual mustahil mereka bisa membangun usaha,"
"Tapi mau bagaimana lagi ayah, ini kan proyek pemerintah,"
"Gak! Bahkan petani sebelah menawar lebih mahal dari klien yang dibawa Pak Kepala desa,"
Ayah pun terlibat demo dengan beberapa warga yang menolak pembangunan bandara. Ia jadi lebih sibuk dari hari-hari biasanya. Ia kerap mengobrol dengan Mang Imron, Mang Ali, dan beberapa petani yang tak mau menjual lahannya.
Tapi naas, suatu kali ayah mengalami kecelakaan. Ia menjadi korban tabrak lari dan nyawanya tak terselamatkan. Ia datang ke rumah sambil digotong warga beramai-ramai. Ibu menangis sejadi-jadinya. Aku juga demikian. Sementara di tengah kerumunan, aku melihat sosok Pak kepala desa menyeringai di antara jejalan manusia yang mengantar jasad ayah. Pria itu menyeringai licik kemudian berbalik dan pergi. Dalam batinku timbul rasa curiga dan amarah yang tak tertahankan.
Setelah pemakaman usai dan semua penghuni rumah tertidur. Aku bernapas dalam remang lampu tidur di sudut kamar. Tiba-tiba jiwaku membawa kakiku untuk melangkah ke luar. Aku melewati setiap ruangan yang tengah lengang. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari dan gelas-gelas bekas tahlil sudah dibereskan Mbok Inah. Semuanya sudah tidur di kamar masing-masing. Sementara itu jiwaku begitu yakin untuk membuka pintu depan.
Kutatap barisan angkot yang berjejer di lapangan parkir halaman depan. Udara malam yang dingin menyapa kulitku yang kering oleh kesedihan. Ayah tidak akan bisa bangun dan mengobrol lagi. Ayah sudah mati. Aku pun berjalan ke arah angkot nomor satu dan mengelusnya dengan tanganku.
Kutempelkan pipiku ke bagian depan angkot nomor satu,
"Ayah paling sayang kepadamu. Ia selalu membersihkan dan menyervismu secara rutin. Bantu aku kali ini saja. Balaskan dendam ayah. Bunuh siapapun yang terlibat dalam kecelakaan yang menimpa ayah," setelah berkata demikian aku mendengar suara starter sayup-sayup dari dalam. Suara tersebut seolah memberi komando pada angkot-angkot lain dan mesin angkot-angkot itu benar-benar hidup secara berurutan.
Aku menyeringai puas mendengar suara heboh pembalasan dendam. Tanpa satu orang pun di dalamnya, angkot-angkot itu melaju seperti kesetanan, menembus kegelapan malam.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
KIPAS ANGIN MENENGOK
TerrorBenda-benda yang anda anggap biasa dan tak pernah anda perhatikan, bisa saja sebetulnya selalu memerhatikan anda. Anda datang, anda pergi, anda tertidur, mereka ada di rumah anda. Kipas Angin menengok berisi dua puluh cerpen horor yang saya tul...