8. Selfie

30 3 0
                                    

Hujan sejak sore. Aku terkurung di kamar dan tak bisa berkumpul bersama teman-teman. Padahal kami sudah janji untuk makan di salah satu resto terkenal di Palembang. Aku bahkan berencana untuk mengambil foto di sana supaya bisa kuposting di instagram. Postingan terakhirku pagi tadi berhasil tembus 1.234 likes. Padahal aku hanya memotret diriku sendiri yang sedang menguap. Sekarang aku belum mengecek postingan itu lagi karena geluduk di luar lumayan besar dan ibu memperingatkanku agar tak main hp terus.

Sejujurnya aku merasakan kepuasan tersendiri ketika postinganku mendapat respon dari orang-orang yang tidak kukenali. Aku tak perlu neko-neko seperti memerosotkan tali bra atau sekadar menjulurkan lidah agar tampak erotis--semuanya itu tak perlu karena wajahku sudah cantik natural. Setidaknya demikianlah menurut orang-orang yang mengomentari foto-fotoku.

Aku juga tak perlu berpura-pura shaleh dengan mengenakan hijab lantas memberikan caption-caption bijak atau kata-kata mutiara yang dikutip dari kitab suci. Semua followerku menerima diriku apa adanya.

Sekarang aku tak bisa mengecek postingan itu karena guntur menyambar-nyambar begitu dekat. Konon jaringan telepon merupakan salah satu mangsa empuk bagi geluduk. Aku takut petir benar-benar menyambarku gara-gara layanan datanya kuhidupkan. Aku tak mau mengambil resiko.

Karena tidak tahu harus melakukan apa, akhirnya aku membuka galeri foto di ponsel dan memandangi isinya satu persatu. Semua foto-foto ini telah kuupload di instagram dan mendapat respon yang luar biasa. Aku memang pandai mengambil momen untuk memoto sehingga gambar-gambar yang kuperoleh tampak natural dengan sudut pengambilan dan pencahayaan yang terbilang baik. Foto wajah, foto gaya, bahkan foto makanan yang hendak kusantap, semuanya sukses mengundang decak kagum penghuni instagram.

Saat sedang melihat-lihat foto dalam bentuk slide, aku merasa ada semilir angin lewat menyapa pergelangan tanganku. Rasa merinding membuatku menoleh ke sekitar untuk mencari-cari asal tiupan angin itu. Tak ada apa-apa di kamarku. Gordin di jendela sudah kututup rapat dengan tali dan kipas angin di seberang tidak sedang menyala. Kuusap-usap pergelangan tanganku yang dingin itu unuk mengusir rasa merinding yang menempel di sana.

Petir sekali lagi menyambar dengan suara keras. Kali ini terasa benar-benar dekat sehingga membuatku mengelus-elus dada sembari menyebut nama Tuhan. Bersamaan dengan itu lampu mulai berkedip-kedip seolah hampir mati. Aku berdoa agar lampu tetap menyala.

Doaku terkabul. Lampu kini tidak meredup lagi, melainkan menyala dengan terang benderang. Namun lagi-lagi aku merasa ada angin yang menyisir sisi kanan tubuhku. Aku menoleh dan tak mendapati satu hal pun yang aneh. Mungkin hanya perasaanku saja, bisikku. Aku kembali membuka layar ponselku yang terkunci dan melihat-lihat foto yang terpampang di sana.

Foto aku dan Mira di Jembatan Ampera itu mendapatkan tanda suka sekitar 750an bulan lalu. Aku tak pernah menduga bahwa pose sederhana kami bisa disukai para pengikutku. Ketika hendak menggeser layar menuju foto lain, aku merasa melihat sekelebat bayangan melintas melalui pantulan layar hpku. Aku mengerling dan mengawasi bagian belakang tubuhku dengan ekor mata. Tak ada apa-apa. Tak ada apa-apa di sana. Aku hanya sendirian di kamar ini. Keluargaku sedang sibuk sendiri-sendiri di kamar mereka.

Hujan belum juga reda. Tetapi petir mulai jarang berbunyi. Sepertinya cuaca di daerah sini sudah agak mendingan. Kuberanikan diri untuk menghidupkan layanan data. Aku ingin mengecek postinganku tadi pagi. Mendadak muncul pesan dari kawanku mengirim foto. Aku terkejut dan hampir melempar handphoneku saat membuka foto itu. Foto mahluk halus tertangkap kamera dalam kerumunan. Tampak sosok jangkung berwajah pucat itu dilingkari garis merah berjejal bersama manusia-manusia di sana.

"Sialan," pekikku pada diri sendiri.

Terpikir untuk mengirimkan foto selfieku untuk membalas pesan itu. Aku akan berpose pura-pura ketakutan dengan rahang menganga dan mata mendelik. Namun baru saja aku mengangkat handphoneku, aku kembali melihat sekelebat bayangan melintas pada pantulang layar ponselku. Aku mengecek sekitar dan mulai beringsut mundur mendekati tembok belakang kasur. Tembok ini dingin sekali. Mungkin karena di luar hujan jadi hawanya ikut merembes ke dalam.

Aku kembali mengangkat ponsel menghadap wajahku. Kubentuk rahangku agak miring mirip topeng tengkorak dalam film horor berjudul Scream untuk menunjukkan wajah ketakutan. Tetapi ketika hendak memotret, petir menyambar keras sekali sampai handphoneku terlempar dari genggaman. Listrik padam seketika. Aku meraba-raba sekitar kasur untuk mencari handphoneku. Lampu kembali menyala, tetapi aku merasakan sesuatu yang aneh di wajahku. Rahangku tak mau menutup ketika kugerakan. Aku meraba-raba wajahku yang miring ke kanan dan merasa sangat ketakutan. Aku tak bisa mengembalikan posisi rahangku seperti semula.

"Ihu.. ihu..." aku memanggil ibu
dengan ketakutan membungkus jantungku yang gelagapan.

Kurasai pipiku yang menyerong ke kanan. Terdapat bentuk gerowong mirip jejak tamparan tangan manusia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KIPAS ANGIN MENENGOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang