Mati lampu sejak pukul lima sore. Kami berempat main Remi. Di ruangan gelap dengan penerang lilin. Berempat karena Hasyim tidak ikut. Katanya dia tidak mengerti aturan mainnya dan lebih suka main gitar sambil bernyanyi sendiri di samping kami dengan suara paraunya. Pada putaran pertama aku menang dan Boim yang jadi kacung. Terpaksalah ia harus mengocok kartu serta membikinkan kami tiga gelas kopi. Di ruangan yang gelap hawa jadi terasa panas. Belum lagi karena kondisi kontrakan juga sempit. Hanya ada dua kamar, satu ruang televisi, dapur, dan kamar mandi yang jadi satu dengan WC.Meski pun demikian, kami merasa senang dengan kontrakan ini. Selain karena biaya sewanya yang murah, kontrakan ini juga aman karena halaman belakangnya tertutup serta luas, sehingga kami bisa menjemur baju banyak-banyak. Maklumlah, kadang kami malas nyuci dan setiap mencuci sekaligus seminggu sekali.
Meski menurut rumor, dulu di kontrakan ini pernah terjadi pembantaian satu keluarga oleh kepala keluarga mereka. Cerita itu sudah lama sekali menurut tetangga. Mungkin sekitar dua puluh tahun yang lalu. Dan konon karena cerita itu rumah ini jadi tak laku.
Sebetulnya banyak pula rumor yang beredar tentang rumah ini. Beberapa warga kerap cerita bahwa mereka sering mendengar suara ribut ribut dari rumah itu. Di lain waktu ada pula tetangga yang melihat seseorang keluar masuk ke rumah ini meski pada saat itu tak ada seorang pun yang mengontrak di sini. Ada yang bilang sang nenek memelihara Jin untuk pesugihan. Ada pula yang mengatakan bahwa kejadian dua puluh tahun itu ada kaitannya dengan kematian suami nenek yang dibakar massa ketika terjadi pengerebekan dukun cabul. Ya, konon suamin nenek pemilik kosan itu dulunya seorang dukun.
Tetapi saat aku dan kawan kawan bertamu kemari, jujur saja perangai si nenek tidaklah menakutkan. Wajahnya cerah dan penuh senyum. Ia juga rajin beribadah dan pergi ke masjid. Menurut tetangga semenjak ditinggal suaminya nenek itu jadi rajin ke pengajian dan mendalami ilmu agama lebih giat dari biasanya.
Aku sendiri tak begitu peduli pada rumor apapun. Begitu melihat kontrakan ini dan mengamati suasana sekitar, kami langsung memutuskan untuk menyewanya. Terlebih karena pemilinya memberi harga yang lebih murah ketimbang rumah rumah lain di wilayah ini. Setidaknya kami memang membutuhkan tempat tinggal yang ramah di kantong dan rumah ini kurasa cukup lumayan.
Selama Boim sibuk membuat kopi, aku serius menekuri kartu-kartu milikku. Kusibak satu-persatu sambil berpikir kartu mana yang akan kulempar jika nanti permainan dimulai. Saat sedang meneliti salah satu kartu, aku melihat pergerakan aneh di tembok. Cahaya lilin samar-samar membuat bayangan kami kelihatan lebih besar dari tubuh asli kami. Aku berusaha memastikan apa itu tadi. Tetapi tiba-tiba saja pergerakan itu berhenti. Mungkin aku salah lihat. Mungkin yang tadi itu hanyalah cicak lewat.
Aku pernah membaca sebuah hadits yang mengatakan bahwa kita harus mematikan lampu sebelum tidur, sebab setan kerap berlari-larian dan bisa menabrak penerang yang terbuat dari api hingga membuat rumah seorang muslim terbakar karena lalai. Hal ini pernah terjadi padaku. Waktu itu aku masih kecil dan baru saja berantem dengan adikku. Karena sewot ibu lebih membela adik, aku tak menghiraukannya ketika perempuan itu menyuruhku memindahkan lilin dari rak buku ke meja besi rak televisi. Aku yang sok jagoan tiba-tiba saja terbangun dan melihat rak bukuku sedang dilalap api. Aku menjerit-jerit histeris sementara ibu menyiramkan air ke rak buku itu, aku melihat bayangan sosok bertanduk di tembok tengah menari-nari.
Tetapi ketika pagi lampu menyala, ibu tak percaya sama sekali dengan omonganku. Ia memanggapku kecing, alias penakut karena malam itu minta tidur di sampingnya.
Iseng, aku melihat bayangan di tembok dan menghitungnya. Satu, bayanganku. Dua, bayangan Imron, tiga, bayangan Hasan, empat bayangan Boim. Ah, bukan. Boim kan sedang bikin kopi. Jadi itu bayangan Hasyim. Tetapi Hasyim sedang tiduran. Dia tidak duduk bersama kami. Aku memincingkan mata dan menghitung kembali. Satu, dua, tiga, empat, li ...
"Nih kopinya," Boim datang sambil menyodorkan satu persatu gelas di hadapan kami.
"Diminum yeuh, diminum," Hasan berseru dengan logat sundanya.
"Aku gak dibikinin, Im?" teriak Hasyim bangkit dari tidurnya. Sementara aku masih menghitung bayangan di tembok. Di sana ada enam bayangan, sementara kami hanya berlima di kosan ini. Aku bergidig ngeri.
"Kamu kan gak ik ..." mendadak kepala Boim bocor dan mengeluarkan darah. Kulihat bayangan di tembok itu menancapkan sesuatu ke bagian kepala bayangan Boim. Teman-temanku gaduh bukan main, satu persatu hendak mengelak ketika kulihat bayangan itu kembali mengarahkan benda tajam ke kepala mereka. Teman-temanku pun limbung dengan cara yang sama. Kepala bocor dan darah muncrat ke mana-mana tanpa sempat mengelak atau melarikan diri. Kini tersisa aku dengan pecahan gelas kopi berserakan di lantai. Semua temanku sedang kelojotan meregang nyawa. Jantungku berdegup kencang sekali sampai yang terdengar di telingaku hanya suara jantungku sendiri.
Aku mundur dengan tubuh gemetaran hebat di antara pecahan-pecahan gelas dan tumpahan kopi. Kulihat bayangan ganjil itu mendekati bayangaku di tembok, bersiap mengarahkan benda serupa celurit itu ke arah bayanganku. Samar-samar aku melihat gordin jendela tersibak angin, pelan dan lama. Sesosok wajah yang sangat kukenali berada di baliknya. Wajah nenek pemilik kosan tengah mengintip dengan seringai paling licik.
***
Aku digiring polisi dalam keadaan tangan terikat borgol dan pikiran linglung.
"Bukan aku, bukan aku yang membunuh mereka. Sungguh bukan aku, " aku berteriak kuat sekali dan meronta-ronta kendati demikian tak ada secuilpun dari anggota tubuhku yang bisa kugerakkan.
Aku digiring ke mobil tahanan bersama petugas kepolisian.
KAMU SEDANG MEMBACA
KIPAS ANGIN MENENGOK
HorrorBenda-benda yang anda anggap biasa dan tak pernah anda perhatikan, bisa saja sebetulnya selalu memerhatikan anda. Anda datang, anda pergi, anda tertidur, mereka ada di rumah anda. Kipas Angin menengok berisi dua puluh cerpen horor yang saya tul...