Kepastian

237 7 3
                                    

Dan
Di balik kekosongan
Di jurang kesepian
Dalam dingin
Yang sebenarnya ingin
Bagaimana hubungan tanpa ikatan ?
Jangan !!
Apakah selamanya akan menjadi tanpa kepastian ?
Menyebalkan, bukan ?

Siang bolong tepat tengah hari, matahari menyengat menembus baju sampai kulit terasa panas. Sama seperti otakku yang hampir tandus kekeringan karena berfikir terlalu lama.

Cerita, enggak, cerita, enggak, cerita, enggak, aahh cerita aja. Eh jangan deh nanti malah ketahuan, kan malu. Batinku berbicara sendiri sambil menghitung jemari seolah-olah sedang berhitung. Padahal sedang kebingungan apa yang harus aku lakukan.

Mita yang sedari tadi melihat tingkahku, segera menghentikannya.

"Lo kenapa sih Re? Ngitung apaan? Ngitung utang parkir motor di sekolah yang belum lo bayar?"

"Enak aja, gue gak punya utang parkiran, gue selalu bayar." Bantahku.

"Terus kenapa? Bingung mau cerita ke Dona dan Fani atau enggak, kalo lu sama Nuky itu sahabat jadi cinta?" Ucapan Mita seolah seperti dukun cinta yang tahu jalan pikiranku. Padahal memang benar.

"Iya, Ta. Macem dukun lo ye, tahu aja yang gue pikirin."

"Siapa dulu dong? Mita!" dengan gaya yang membanggakan dirinya.

"Halah, pret!" Ledekku.

"Yaudah cerita aja sih ke Dona sama Fani. Percuma juga lo sembunyiin dari mereka. Semua juga bakal tau, ya kan?"

"Iya juga sih. Lo bener Ta."

Langsung segera aku mengambil handphone di samping tempat aku duduk.
Pik pik pik ➡grup ➡typing...

DoReMiFa 🎼🎶:
"Ke rumah Mita ya, ada yang mau gue ceritain" -Reta

"Oke" -Fani

"On the way" -Dona

*****

"Wahh gila!! Seriusan lo Re?" Teriak Dona yang heboh mendengar ceritaku.

"Hah?! Beneran Re? Lo ama Nuky?" Teriak Fani yang tak kalah heboh dengan Dona.

"Pantesan lo jadi agak salting kalo ada Nuky. Terus, terus gimana?" Tanya Dona.

"Udah jadian lo Re? Udah di tembak ama dia?" Timpal Fani.

"Iiiiiii kalian ini satu-satu dong pertanyaannya." Seraya aku mencubit pipi kedua sahabatku yang bawel itu.

"Nah, itu masalahnya." Sahut Mita menyambar.

"Masalah apanya?" Tanya Fani yang kebingungan.

"Iya masalahnya sampai sekarang Reta belum juga di tembak sama Nuky." Jelas Mita.

"Aduh itu cowok begimana sih, ngungkapin udah kok nembak belum." Keluh Dona.

"Mati dong gue di tembak." Timpalku.

"Ya di tembaknya kan pake pistol cinta, peluru lope lope gitu Re." Fani menirukan cara menembak para aktor di film action.

"Ngaco lu Fan, emangnya ada apa hahaha." Mita mengernyitkan dahinya dan melirik Fani.

"Enggak apa-apalah gak jadian juga yang penting gue kan bisa sama dia terus."

"Hmm Reta, Reta, polos amat sih." Mita mengelengkan kepalanya.

"Gue yakin di hati kecil lo, lo berharap jadi pacarnya Re, ya kan?" Timpal Fani.

"Gini deh, mau bagaimanapun juga setiap perempuan itu butuh kepastian, Re." Kata Dona menambahkan.

"Betul itu." Sahut Mita.

"Iya iya setuju." Fani ikut-ikutan.

Ya, sahabat-sahabatku benar setiap perempuan butuh kepastian. Dan di dalam hati kecilku memang ingin memilikinya. Apa aku egois ? Aku hanya ingin sebuah tali dengan ikatan yang mengikat. Itu saja.

*****

"Maaf Re, sejujurnya aku gak mau nyakitin perasaan Alvi yang suka sama kamu juga. Aku juga takut suatu hari menyakitimu. Makanya sampai hari ini aku belum nembak atau minta kamu buat jadi pacarku." Ungkap Nuky.

Di meja pojok dekat kaca cafe kami duduk di sana, aku melihatnya begitu kebingungan, aku dapat melihat dari raut wajahnya. Ya aku tahu Alvi adalah teman sebangku Nuky dan dia juga menyukaiku sudah lama, saat kami kelas XI. Tapi aku menghiraukan karena ku pikir Alvi hanya bercanda. Aku mengerti, Nuky tak ingin mengkhianati temannya itu. Aku mencoba memahaminya. Menyembunyikan harapku padanya. Aku raih tangannya yang berada di atas meja dan menggenggamnya.

"Tak apa. Aku mengerti. Lagi pula berada di dekatmu saja itu sudah membuatku senang." Ucapku dengan mengangkat kedua sudut bibirku.

Nuky juga balas tersenyum, walau masih ada gelisah yang di pendam tapi tertutup dengan sikapnya yang seolah tenang.

Aku menoleh ke arah kaca cafe, seolah melihat keluar padahal tatapanku benar-benar kosong. Tak tahu juga harus merasa senang atau sedih mendengar ucapan Nuky tadi. Aku mencoba menerka apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran lelaki ini, tapi tak pernah bisa. Dia penuh teka-teki.

Apa benar karena Alvi ? Atau hanya karena Nuky tidak mau terikat ? Pertanyaan-pertanyaan aneh yang bahkan otakku tak bisa menjawabnya. Malah membuat aku semakin berfikiran buruk. Stop!
Nuky mencintaiku, apa lagi yang harus dikhawatirkan ?. Nuky juga lelaki yang peduli padaku. Nuky, dia terlalu sempurna.
Tanpa di sadari lamunan ku malah membuat bibir kecil ini tersenyum lebar.

"Eh Re, kamu kenapa senyum-senyum gitu? Aku ganteng ya? Dari lahir kali hahaha." Kata-kata Nuky membuat perutku menggelitik.

"Siapa yang senyum-senyum? Enggak kok. Hahahaha idihh pede banget, iyuuhh." Aku mencoba menutupi karena malu ternyata Nuky melihatnya.

"Itu anak sapi yang senyum-senyum."

"Ya kamu lah Re siapa lagi coba yang sekarang ada di hadapanku? Dasar kamu ngeles aja kayak bajaj. Tuh mukanya merah kan kayak kepiting rebus wleee." Ledek Nuky.

"Hahahaha, masa sih muka aku merah?" Tanyaku dan langsung mengaca di layar ponsel.

"Enggak kok." Kataku sambil melihat mukaku. Nuky cekikikan melihat tingkahku.

"Hmm, rese banget kamu ya, ngerjain aku. Iiiiii !!!" Aku menjambak rambutnya.

"Hahaha iya iya ampun, sakit tau Re. Hahahaha." Teriak Nuky.

"Tak ada ampun bagimu. HAHA." Aku tertawa jahat.

Langit jingga di sore itu menghiasi kota, warnanya menenangkan. Angin berhembus lembut membuat daun-daun di pepohonan menari. Senja di cafe itu aku sangat bahagia. Karena lelaki itu mencintaiku.

Tetap menyenangkan seperti ini ya Nuky. Walau tanpa kepastian, aku bisa terus bersamamu, ya kan? Kau tak akan meninggalkanku, bukan?

Remember (Edited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang