Ayah-3

597 18 1
                                    

"Rio, kamu bawa sepatu siapa?" suara Helda mengagetkan Rio yang baru masuk ke rumahnya.

"Mama nanyain sepatu gembel ini bukan nanya aku?" Rio mendengus manja sambil menghempaskan tubuhnya di sofa.

"Haha kamu. Bukannya gitu, mama cuma heran kamu bawa sepatu cuma sebelah doang." Helda, mama Rio tertawa.

"Yuk makan dulu." Helda mengelus puncak kepala Rio. Laki-laki itu tersenyum.

"Papa mana?"

"Papa kamu lagi kerja sayang. Baru aja pergi."

Rio membulatkan bibirnya sambil berjalan ke meja makan. Ia menaruh sepatu merah itu di sampingnya.

"Sayang banget sama itu sepatu? Nyolong di mana?" Helda terus mencekoki Rio pertanyaan, yang ditanya cuma manggut-manggut malas.

"Kok cuma sebelah? Sebelah lagi dimana?" tanyanya lagi.

"Mamaaaa. Kenapa kepo banget gitu sih?" Rio mendengus lalu menyuap sesendok nasi itu ke mulutnya.

"Bukannya gitu. Cuma aneh aja. Tumben kamu bawa sepatu yang gak tau punya siapa, terus sebelah lagi." Helda menyelesaikan makannya, begitu juga Rio.

"Mama gak perlu tahu." Rio bangun dari duduknya dan mengambil sepatu merah itu. Sambil berjalan menuju kamarnya ia berteriak.

"Ini urusan anak muda ma!"

Helda hanya menggelengkan kepalanya tidak mengerti.

**********

"Elah sepatu gue." Bulan kesal. Bodohnya dia melempar sepatu dan tidak diambil lagi.

Gadis itu berjalan pulang dengan hanya satu sepatu. Rasanya seperti gembel. Menyebalkan.

Ia mendengus kasar sambil memukul kepalanya pelan berduka atas kebodohan otaknya.

Bulan sudah masuk ke halaman rumah yang cukup mewah itu. Air mata Bulan menggenang, ia mengingat senyum hangat Bundanya.

"Bunda." ia menunduk. Melihat kakinya yang hanya memakai sepatu sebelah.

Ia mendongak lagi, lalu berjalan memasuki rumah mewah itu.

"Bulan." suara berat itu masuk ke gendang telinga Bulan.

Gadis itu menoleh dengan tatapan penuh amarah.

"Duduk di sini dulu." Tyo memanggil Bulan lembut.

Bulan tidak menggubris, ia mulai melangkahkan kakinya menuju kamarnya.

"Bulan. Ayah mau bicara." suara itu terdengar lebih lembut. Tapi bagi Bulan, suara itu tetap menjadi suara yang paling ia benci.

Akhirnya ia menghampiri ayahnya dengan tatapan malas.

"Kamu kenapa berubah? Ayah gak suka." guratan senyum itu terlihat renta tapi tulus.

"Bukan urusan anda." jawab Bulan singkat.

"Bulan, jangan gini lagi ya?" Tyo mengusap kepala Bulan. Tapi apa? Bulan melempar tangan ayahnya kasar. Kasar sekali. Tyo terkejut.

"Jangan urus kehidupan saya lagi. Saya muak!" Bulan berdiri, lalu pergi meninggalkan ayahnya yang penuh kesedihan.

"Bulan." suara berat itu memanggilnya lagi. Langkah bulan terhenti. Ia menoleh.

"Sepatu kamu sebelah lagi mana?" tanya Tyo.

Ah?

Bulan menatap kakinya lagi sambil memainkan jemari kakinya.

"Dimakan kucing!" Bulan naik tangga lagi meninggalkan ayahnya yang menyunggingkan senyum kecilnya.

Bulan tetap bidadari kecilku yang dulu.

*********

"Sepatu gue." Bulan menatap sepatu kesayangannya yang tinggal sebelah. Ia ingat ia melemparkan sepatunya ke kepala cowok itu.

"Aahh sepatu gue." Bulan kesal, kesal sekali. Dengan bodohnya ia lupa mengambil sepatu itu. Goblok kan?

"Gimana gue bisa sekolah besok." Bulan mendengus.

Buru-buru ia mengganti baju sekolahnya dengan baju kaos oblong dan celana pendek. Ia segera turun ke bawah untuk menonton tv dengan senyum cerianya.

Deg.

Langkahnya terhenti, seketika memori Bundanya mengalir.

"Ayah jahat." desisnya. Air mata itu mengalir lagi, menghiasi pipinya yang bulat.

"Bulan! Ayo makan siang dulu sini, Bunda udah masak buat Bulan."

Suara itu terekam berulang-ulang dalam otaknya. Membuatnya semakin jatuh dalam luka yang tak berujung.

"Bulan?" Tyo menghampiri Bulan yang masih berdiri di anak tangga dengan air matanya.

Bulan terkejut. Ia menatap wajah ayahnya. Wajah yang dulu ia rindukan, wajah yang selalu ia harapkan untuk pulang, tapi wajah itu sekarang membuatnya muak, muak akan kenyataan.

"Pembunuh!" desisnya lagi. Bulan langsung lari menuruni anak tangga meninggalkan ayahnya yang memandangnya dengan tatapan kecewa.

"Maria, bisakah kau buat Bulan mengerti?"

********

Bulan mengambil kunci mobil ayahnya dan bergegas menghidupkan mesin mobil dan meninggalkan haltar rumahnya.

Ia menuju supermarket di dekat rumahnya, membeli beberapa makanan yang siap ia santap kapan saja.

Tapi matanya tertuju pada sosok itu, laki-laki super menyebalkan yang pasti tahu sepatunya ada dimana.

Ia membawa makanan seabrek itu dan bergegas menghampiri laki-laki itu, Rio.

"Woy brengsek." sapanya, kasar.

Rio menoleh, ia sedikit kaget saat melihat siapa yang menyapanya dengan nada super kasar.

Bulan terlihat berbeda. Sudah diduganya, Bulan bukan tipe anak badung. Ia terlihat sangat cantik dengan baju kaos berwarna hijau terang dipadu celana pendek hitam.

"Woy!" teriaknya lagi.

Rio mulai sadar kembali.

"Sepatu gue mana?!" gadis itu berjalan menghampiri Rio yang masih diam, sibuk dengan otaknya yang berpikir mau jawab apa.

"Gue kasih kucing–eh—" Rio menutup mulutnya. Jawaban macam apa itu?

Bulan mengernyitkan alis. Berpikir bahwa laki-laki di depannya benar-benar tak berguna.

"Makan tuh sepatu." gadis itu langsung ngeloyor pergi ke kasir dan pulang tanpa ba-bi-bu.

************

Tyo menatap kepulangan anaknya dengan satu kantong plastik jajanan aneh-aneh. Dia menggeleng sambil tersenyum.

"Bulan, kamu beli apa?" tanyanya ramah.

"Bukan urusan lo." jawabnya asal dan nyelonong tanpa melihat ayahnya yang berdiri di ambang pintu hanya untuk menyapanya.

"Hari ini ayah libur loh. Kamu ada mau main kemana?" tanya Tyo lagi, ia masih berusaha mengubah kondisinya dengan sang anak.

"Sepatu aku hilang." akhirnya bulan menjawab.

Ya karena kepepet, besok mau sekolah pakai apa kalau nggak ada sepatu? Yah walaupun Bulan sudah pindah haluan jadi anak badung, tetap saja dia malu kalau nggak pake sepatu.

"Oke kita beli ya? Kita ke mall. Kamu siap-siap sana."

Bulan hanya menggerakkan alisnya. Lalu ia pergi ke kamarnya dengan senyuman.

Saatnya belanja sampe mampus.

AyahWhere stories live. Discover now