Ayah-8

277 8 2
                                    

Hari sudah mulai malam, matahari mulai berusaha bersembunyi di antara langit yang mulai menggelap. Rio dan Bulan masih berada di atas motor menuju ke rumah Bulan. Selama diperjalanan mereka saling tertawa. Gadis itu lupa bahwa ada kecewa di dalam hatinya. Laki-laki yang memboncengnya pun lupa akan kejengkelannya. Keadaan mulai menghangat, lapisan es mulai mencair.

"Nah di jalan ini kemana? Rumah lo dimana?"

"Gue nggak mau pulang."

"Lah?" Rio mengerutkan alisnya.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Gue nggak mau lihat ayah."

Itu lagi.

"Lo sebenci itu sama orang tua lo sendiri?"

Bulan terdiam. Rio memelankan laju kendaraannya agar angin tidak begitu kuat menutupi suara Bulan.

"Lo nggak akan ngerti." sahut Bulan.

Rio hanya menghelas nafas. Hari ini ia tidak ini berdebat dengan gadis labil ini.

"Terserah lo, yang jelas gue nggak mau muter-muter cuma karena keegoisan lo."

Bulan tetap diam. Ia hanya melihat sisi kiri dari jalanan. Ia kembali mengingat senyum sang bunda, mengingat senyum ayahnya, mengingat senyumnya, yang sebelumnya masih sangat hangat. Sebelum kejadian di kantor. Sebegitu pintarnya kah ayahnya menyembunyikan? Atau bunda yang terlalu bodoh untuk tahu? Atau mungkin bunda hanya pura-pura bahagia untuk menutupinya dari Bulan?

Semua pertanyaan berkecamuk dalam hatinya. Bulan meremas rok sekolahnya yang sudah agak kotor karena tanah dan cipratan air tadi. Emosinya kembali menyerang.

"Heh, lo kasi tahu sekarang deh rumah lo dimana? Gue nggak mau disangka nyulik anak gadis."

"Iya! Cerewet banget lo." Bulan menggerutu.

Akhirnya Bulan memberi arahan kepada Rio agar mereka sampai ke rumah gadis itu. Bulan kembali bersikap ketus. Sedikit saja Rio bertanya lebih, pukulan akan datang ke kepala Rio yang tertutup helm.

"Stop, ini rumah gue." Bulan mencengkram bahu Rio erat.

Laki-laki yang dicengkram bahunya segera menghentikan motornya. Ia melihat rumah Bulan yang sepi, terlihat gelap, hanya dua ruangan yang lampunya terlihat menyala. Sepertinya itu kamar. Rio menangkap mata Bulan yang tertuju pada ruangan itu. Mata yang penuh dengan emosi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Masuk gih." Rio melepas keheningan.

Gadis itu menoleh dan mengangguk sembari melepas helm milik Rio.

"Makasih." ucapnya.

Rio tersenyum.

"Eh Lan."

Bulan menoleh,

"Apa?"

"Lo besok ke sekolah jangan aneh-aneh lagi ya!"

Bulan memutar bola matanya malas. Ia meninggalkan Rio yang masih jelas-jelas menatapnya.

Laki-laki itu tersenyum kecil, ia yakin Bulan adalah gadis yang baik.

******

Bulan memasuki rumahnya yang terlihat gelap. Ia menjatuhkan dirinya di sofa yang empuk tanpa menghidupkan lampu di ruang tengah. Kegelapan masih menyelimuti rumah itu. Gadis ini memejamkan matanya, mencoba melenyapkan seluruh emosi dalam dadanya.

Lo besok ke sekolah jangan aneh-aneh lagi ya!

Hidup mati jodoh, bahkan lo ada di sini pun udah di atur.

Perkataan Rio cukup membuat dirinya tenang. Cukup ampuh membuang perasaan bencinya walau hanya sedetik.

Yang pasti gue bakal banggain beliau.

Air mata Bulan menetes di antara kelopak matanya yang tertutup.

Apa aku sudah membanggakan bunda?

Apa bunda kecewa melihatku sekarang?

"Bunda." lirihnya.

Ia kembali terisak, sendu mulai merayap di hatinya.

"Maafin Bulan." ucapnya ditengah isakan.

Apa yang ia dapatkan dengan merubah gaya hidupnya? Toh, Bulan merasa tidak bahagia. Ia hanya merasa amarahnya tersalurkan. Ia hanya menyembunyikan kerapuhan hatinya.

Tanpa Bulan sadari, sang Ayah melihatnya dari pinggiran tangga. Tyo mengepalkan tangannya erat di pembatas tangga. Hatinya berduka. Mendengar isakan tangis anaknya setiap hari. Hatinya hancur, merasakan penderitaan yang sama akan kehilangan orang yang menjadi tumpuan hidup.

Tyo terduduk di anak tangga, meremas erat rambutnya.

"Maria." dengan lirih ia menyebutkan nama istrinya.

"Aku harap ada kekuatan untuk mengembalikan senyum Bulan."

Harapan itu ia ungkapkan sembari menahan air matanya yang akan segera jatuh.

Samar-samar, suara Bulan menghilang. Ruangan menjadi hening kembali di tengah gelap. Tyo perlahan mulai menuruni anak tangga dengan berhati-hati karena dia bisa saja jatuh jika tidak menapakkan kaki dengan benar.

Diraihnya saklar lampu di bawah tangga dan segera menghampiri putrinya.

Bulan terlihat lelap dengan matanya yang sembab.

Tyo mengelus puncak kepala Bulan dengan lembut sembari memberinya kecupan hangat.

Selamat malam bidadari ayah.

Ia menatap putrinya, ada cinta dalam matanya. Ada rasa penyesalan dan sedih yang menjadi satu di sana.

Bulan yang sebenarnya menyadari itu menahan isakannya dalam kondisi mata yang masih tertutup.

Apa aku benar-benar telah salah menilai ayahnya? Atau aku terlalu bodoh untuk dibohongi penjilat sepertinya? —

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 28, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AyahWhere stories live. Discover now