Ayah-4

416 12 0
                                    

"Ah. Lega." Bulan menghempaskan badannya ke tempat tidur yang bernuansa pastel itu. Ia menghela nafasnya. Sudut matanya kembali tertuju pada foto masa kecilnya. Indah, indah sekali.

Ia kembali melihat belanjaannya yang sangat banyak. Sungguh ia merasa ayahnya sok kaya dengan menuruti semua keinginannya.

"Cih." ia berdecak. "Segitunya ya ayah."

Ia membedah tas belanjaan. Ada baju ada sepatu dan barang-barang lainnya yang pasti totalnya jutaan.

"Porotin papa gapapa kan? Daripada dia kasi duitnya ke selingkuhannya itu."

Ia mengernyit. Kembali mengingat momen saat ia melihat bundanya terkena serangan jantung. Air mata bulan menetes. Telunjuknya berusaha menahannya tapi air mata itu terus mendobrak pelupuknya untuk tumpah.

"Bunda." lirihnya.

"Bunda kenapa tinggalin Bulan?" akhirnya ia terisak. Membiarkan air mata itu tumpah seutuhnya tanpa diseka. Membiarkannya terlelap dalam buaian air mata.

Laki-laki paruh baya itu masih bertahan di depan pintu bertuliskan nama Bulan dengan aksen merah muda.

Dadanya perih mendengar Bulan terisak. Hatinya teriris mengingat istrinya juga telah pergi. Hatinya hancur melihat anaknya tidak seperti dulu.

Ya, apapun akan Tyo lakukan untuk anaknya. Nyawanya sekalipun. Inilah janji seorang Ayah. Ia akan membahagiakan putrinya, dengan seluruh jiwa dan raganya.

Air matanya menetes, mengalir lembut dipipinya.

******

"Bulan!" teriakan keras itu membangunkan Bulan yang tertidur pulas di dalam kelas.

"Bulan bangun!" Bu Riri terus menggedor meja supaya gadis itu bangun.

"Ya ya ya." Bulan mendongakkan wajahnya, ia memicingkan matanya menatap Bu Riri yang kini sudah berada di sampingnya dengan penggaris yang melegenda.

"Kamu itu bisa-bisanya tidur di jam pelajaran saya! Keluar kamu sekarang!" hardik guru muda itu.

"Oke bu, makasih bu makasih banyak tau aja kalo saya bosen sama ibu." Bulan mengambil tangan guru itu dan bersalaman lalu berlari keluar kelas.

Bu Riri dan seisi kelas hanya bisa melongo. Bulan seperti bukan Bulan yang biasanya.

*******

Gadis itu duduk di kursi panjang koridor sekolah.  Koridor itu terlihat lengang karena memang siswa-siswi sedang berada di kelas untuk belajar.

Bulan mengernyit, ia berpikir keras.

Benarkah jika aku seperti ini?

Ia menggelengkan kepalanya keras. Menghapus pikiran ragu dari otaknya. Ini sudah keputusannya. Dia lelah menjadi Bulan yang lemah.

"Wah lo bolos ya?!" suara itu tidak asing lagi ditelinga Bulan.

"Bukan urusan lo." sahut Bulan ketus. Ia tahu pemilik suara itu adalah Rio. Si ketua osis yang suka ikut campur urusan orang.

"Gue aduin kepsek lo!" Rio mendekati Bulan.

"Gue disuruh keluar sama Bu Riri jadi ya gue keluar." Bulan menatap Rio kesal.

Rio hanya berdecak sambil berkacak pinggang melihat gadis yang duduk di depannya.

Gadis itu menggunakan bando warna violet yang menghiasi rambut sepunggungnya yang sudah di cat coklat. Rok diatas lututnya dan kaos berwarna hijau sudah cukup menunjukkan dia ngelunjak di sekolah.

Rio menatap kedua kaki gadis itu. Oh sepatu baru. Gumamnya.

"Apa lo liat-liat mesum?!" suara Bulan mengaggetkannya yang memang tengah memperhatikan gadis itu dengan teliti.

"Enak aja lo!" Rio menempeleng kepala Bulan kesal. Image-nya sebagai ketos bisa rusak kalau dia diteriaki mesum.

Bulan menatapnya tak suka lalu bergegas berdiri.

"Eh mau kemana lo?!" Rio membututi gadis yang membuatnya penasaran. Sekali lagi ia bingung kenapa dia harus repot-repot mencari tahu masalah Bulan dan ayahnya?

"Gimana lo sama bokap?" tanyanya.

Seketika Bulan berhenti melangkah. Rio hanya menatap rambutnya yang terurai dipunggungnya. Rambut yang sedikit beterbangan terbawa angin.

Gadis itu menoleh, berjalan mendekati Rio. Laki-laki itu membulatkan bibirnya, menetralisir rasa gugup di hatinya.

Bibir gadis itu kini tepat berada di telinga kiri Rio,  dan berbisik penuh penekanan "Bukan urusan lo."

Bulu kuduk Rio seketika berdiri. Ia tidak dapat berkata sepatah katapun. Setelah membisikkan itu Bulan pergi dengan keangkuhannya meninggalkan Rio yang membeku di koridor sekolah.

Rio menghela nafasnya, gila gila.

Seketika Bulan kembali berbalik. Rio gelagapan ia tidak tahu harus berbuat apa.

"Kembaliin sepatu gue. Ga sopan banget bawa sepatu cewek." Bulan mendengus lalu pergi lagi.

Rio menghembuskan nafasnya lega. Jika gadis itu kembali berbisik di telinganya. Kelar semua.

******

Di sekolah, Bulan bukan lagi gadis cantik yang idaman, bukan lagi gadis yang suka nongkrong di perpustakaan, bukan lagi gadis yang ramah dan kalem. Kini ia adalah gadis yang bukan kategori Bulan yang dulu.

Kini, gadis dengan rambut yang tidak jelas itu duduk bersama segerombol anak laki-laki yang dicap badung. Gadis itu sesekali terlihat ragu, raut wajahnya menyiratkan bahwa ia enggan.

"Ayolah Bulan, kalo lo gak mau hisap rokok ini sama aja lo ga berubah total! Ya gak?" ucap salah satu anak laki-laki yang menyodorkan rokok yang sudah menyala itu.

"Kaya gini nih, " ada lagi anak laki-laki yang memperagakan cara merokok dan menghembuskan asapnya tepat di depan wajah Bulan. Paru-parunya menolak tapi hatinya bertekad bulat.

"Mana sini gue coba."

Gadis itu merampas sepuntung rokok dari genggaman laki-laki yang menawarkannya tadi. Dihisapnya perlahan. Asap rokok itu kini memenuhi ruang pernafasannya. Sesak. Sangat.

Ia sedikit terbatuk. Sorakan dari para laki-laki itu terdengar kencang. Bulan kembali menghisapnya sedikit lebih kencang. Kembali, asap pekat itu mengusik paru-parunya.

Diingatnya kembali detik-detik melihat ayahnya merangkul gadis lain. Diingatnya kembali memori pahit saat bunda pergi meninggalkannya selamanya.

Hidupnya kini tak berguna dan tanpa arti.

Jika sudah sudah basahi kaki, lebih baik menceburkan diri supaya basah semua bukan?

******

AyahWhere stories live. Discover now