Ayah-7

255 10 2
                                    

"Kamu sering ke sini ya?" Tanya Bulan.

Rio yang mendengarnya merasakan hatinya semakin berdebar kencang. Ia baru pertama kali mendengar Bulan bersuara lembut, walaupun memang Bulan adalah anak yang lembut. Tetapi, Rio tidak pernah berbicara dengan Bulan sebelum kejadian pertengkaran itu.

"Iya, beberapa kali." jawab Rio.

Bulan hanya membulatkan bibirnya.

Rio menoleh, melihat wajah Bulan dari sisi kanan. Matanya masih terlihat sembab, hidungnya yang kecil juga memerah, sisa air mata jelas masih ada di pipinya.

Apa yang membuat Bulan jadi seperti ini?

"Kamu kenapa?" Tanya Rio. Ia berusaha setenang mungkin. Setenang air yang ada di depannya kini.

Bulan menghiraukannya. Ia hanyut dalam suara air yang menenangkan. Rio hanya meliriknya pelan. Laki-laki itu tahu, gadis di depannya ini sedang tidak baik-baik saja.

"Apa yang bakal lo lakuin, seandainya mama lo udah nggak ada?"

Rio mengernyit, ia mencoba meresap pertanyaan Bulan yang datang tiba-tiba.

"Ya pastinya gue bakal lakuin yang terbaik. Walaupun mama nggak ada, setidaknya gue bakal selalu ngebanggain beliau."

"Terbaik?"

"Iya, apapun itu. Terbaik di setiap orang kan beda-beda Lan."

Bulan bergeming.

Gadis itu terduduk pelan dengan kaki yang ditekuk. Ia memeluk lututnya erat. Air matanya kembali terurai. Tidak ada isakkan di sana, hanya uraian air mata yang berbicara.

"Lo kenapa lagi sih? Ada masalah?" Rio berusaha mendekati Bulan, ia duduk di sebelah gadis itu, menatapnya lekat-lekat dari sisi kiri.

"Bunda gue mati. Gue kehilangan nafas gue. Ini semua gara-gara ayah! Gue benci Ayah!" Akhirnya deru air mata Bulan mengalir, isakkan tangisnya mendesak untuk keluar.

Tangan kecilnya mengusap air mata yang jatuh di pipi, ia berusaha menetralkan emosinya. Rio hanya berusaha mendengarnya, Rio masih membiarkan Bulan melepas emosinya.

"Hidup, mati, jodoh, bahkan lo ada di tempat ini aja namanya takdir Lan."

Bulan menoleh.

"Lo nggak bisa nyalahin siapapun atas kematian Bunda. Apalagi nyalahin salah satu dari malaikat hidup lo Lan."

Rio menarik nafasnya pelan.

"Gue tahu ini pasti berat buat kamu, tapi apapun kesalahan ayah kamu yang bahkan aku nggak tau, sepertinya semua masih bisa diperbaiki. Kamu cuma belum coba kan?"

Bulan menatap Rio makin lekat.

"Aku tahu, kamu pasti bertengkar sama diri kamu sendiri. Aku tahu, kamu anak baik, nggak mungkin bisa berubah jadi nenek sihir gitu aja."

Buak!

"Aw! Apaan sih?!" Rio menjerit setelah sebuah tas melayang di atas kepalanya.

"Apa lo bilang tadi? Nenek sihir?!" Bulan sudah berdiri, sudah siap dengan tangan yang terkepal dan tas yang siap melayang kapan saja.

"Iya tadi kan lo ngamuk-ngamuk nggak jelas. Eh gue udah lembut banget ya sama lo—"

Buak!

"Sinting lo ya!" Rio mengusap kepalanya yang terkena tas untuk kedua kalinya.

"Elo yang sinting! Bisa-bisanya ya gue mau diajak ke sini sama lo."

"Yaudah sana pulang!"

"Oke!"

Bulan berbalik arah, memakai tasnya dan berjalan pergi.

Rio hanya menatap punggung gadis tidak jelas itu.

"Tadi nangis, terus senyum, terus melow, terus tiba-tiba ngamuk. Emang sinting."

Rio kesal, bisa-bisanya gadis itu membantingnya sampai dua kali. Jatuh martabatnya sebagai ketua osis tampan dan dihormati. Ia tidak peduli, mau gadis itu tersesat, hilang, dia hanya menggerutu.

Tiba-tiba seseorang menggaet lengannya, Rio menoleh. Wajahnya tampak jengkel setelah melihat siapa yang menarik lengannya itu. Sebuah deretan gigi dengan senyum yang lebar menyapanya.

"Hehehe, gue nggak tahu jalan pulang."

Siapa lagi kalau bukan Bulan si gadis sinting?

"Lo emang bener-bener gila!"

"Habisnya, siapa suruh lo bilang gue nenek sihir?"

"Siapa suruh elo marah-marah mulu?!"

Rio mendekatkan wajahnya ke wajah Bulan. Bulan menatap mata Rio lekat-lekat.

"Apa?" tanya Bulan pelan.

"Makanya lo jangan marah-marah lagi, lo sebenernya cantik tau. Nggak usah aneh-aneh deh."

Bulan langsung mendorong wajah Rio menjauh dan menarik telinga laki-laki itu.

"Lo kalem-kalem bisa gini juga." Bisiknya.

Darah Rio berdesir.

Gila, emang sinting ni cewek.

Eits, apa gue yang sinting karena cewek labil ini? —

AyahWhere stories live. Discover now