Ayah-6

424 14 3
                                    

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Bulan langsung merapikan tasnya dan berjalan menuju gerbang sekolah. Oh ya, hari ini Bulan berniat ke kedai Kopi ia ingin mencicipi kopi kesukaan Bunda, Capuccino Latte.

Bulan memasuki kedai kopi di dekat sekolahnya itu. Ia menghirup aroma kopi yang menenangkan menyeruak ke hatinya. Matanya menelusuri sekeliling. Tapi tiba-tiba ia mendapati sosok yang sangat familiar di benaknya. Ayahnya. Sedang bersama dengan wanita waktu itu, wanita yang sama saat kejadian Bunda mengalami serangan jantung.

Emosinya sudah naik ke ubun-ubun, dia sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Ia benci. Ia muak. Muak dengan semua ini, menjijikkan jika ia harus pura-pura tidak tahu.

Brak!

*******

"Ma, mama kenapa?" Rio langsung bangkit dari sofa setelah melihat baju mamanya kotor berlumuran kopi. Ulah siapa nih? Brengsek.

"Gapapa kok, tadi ketumpahan kopi aja." Helda mengusap puncak kepala Rio lembut. Tapi hatinya masih terluka melihat seorang anak sampai jadi sekasar itu.

"Astaga ma, hati-hati dong ma. Jangan ceroboh gitu." Rio kesal dengan mamanya.

"Haha, iyaiya mama ganti baju dulu ya."

Helda menunduk, ia masih mengingat wajah gadis itu yang begitu terbakar emosi. Gadis itu rapuh, ia terlihat sangat rapuh. Ia merasa jika ini adalah salahnya, salahnya kenapa ia harus ditugaskan menjadi seorang sekretaris saat itu,  kenapa saat itu ia harus oleng dan terjatuh membuat segala situasi menjadi sangat runyam.

Ia menghela nafas kasar, sungguh di luar nalarnya. Kejadian itu di luar keinginannya. Jika boleh ia mengulang waktu, ia akan menolak urusan kerja ini.

"Ma?" Rio mengetuk pintu kamar mama nya. Ia khawatir.

"Iya?" Helda membuka pintu kamarnya, memberikan senyum merekah itu untuk putra semata wayangnya.

"Mama baik-baik aja kan? Ngga ada masalah?" Rio menekankan kembali, ia melihat wajah mamanya sangat lesu.

"Mama kecapekan aja, istirahat aja udah pulih. Nggak usah khawatir." Ia tersenyum.

"Yaudah deh Ma, aku pergi dulu ya, mau rapat osis ma."

"Iya, kamu hati-hati ya."

Rio menaikkan jempolnya lalu mencium pipi mamanya pelan.

"Daaa maa!"

Helda melaimbaikan tangannya. Ia kembali menutup pintu kamarnya. Rasanya ia juga merasakan kepedihan dari gadis itu, matanya begitu menyiratkan dan menceritakan segala kepedihan hatinya, kekecewaannya. Tak sengaja air matanya menetes.

*******

Bulan berjalan sendiri, ia terduduk di tepi jalan, lelah berjalan. Kakinya sakit, hatinya apalagi jangan ditanya. Mata gadis itu sangat sembab, seperti monster bila dilihat-lihat saking bengkaknya. Hidungnya merah. Ia menunduk, rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya yang sedang terpuruk.

Bibirnya kelu, sudah tidak bisa berkomentar apapun. Segalanya sudah menjelaskan situasi yang terjadi. Bulan merasa bahwa hidup ini sudah tidak ada tujuan lagi. Suram.

Suara derungan motor berhenti tepat di depan  gadis itu yang disusul dengan suara berdeham seorang laki-laki.

Bulan diam, tidak peduli. Jika ada yang mau menculiknya, memperkosanya, bahkan membunuhnya, ia sudah tidak peduli lagi.

"Ngapain lo? Udah sore gini nggak punya rumah?"

Bulan mengenal suara menyebalkan itu, ia lalu mendongak.

Benar sudah dugaannya itu Rio si makhluk menyebalkan itu.

Ia kembali menunduk, malas sekali melihat wajah orang di depannya. Muak.

"Lah ditanya malah diem, gembel."

"Bisa nggak sih lo diem?!" Bulan mendongak, menatap Rio dengan mata sembab penuh air mata, berteriak dengan emosi yang meluap dan suara yang sedikit bergetar.

"Eh?" Rio bingung. Gadis itu menangis. Jelas! Itu sudah terlihat dari matanya, dan getaran suaranya.

"Lo kenapa? Gue salah? Jangan nangis di sini dong! Nanti gue dikira apa-apain lo lagi." Rio panik.

Bulan sudah tidak tahan, ia meluapkan tangisannya kencang.

"Kenapa sih dunia itu nggak adil!" Bulan berteriak dengan tangisan kerasnya disusul isakkan yang bertubi-tubi.

"Ssttt! Eh lo sengaja ya?!"

Tapi sepertinya gadis itu benar-benar sedang kacau, dari tangisan dan matanya, sedang tidak bercanda.

"Ikut gue sekarang." Rio menarik tangan Bulan.

"Nggak!"

"Etdah bocah nurut sekali kenapa sih?"

Bulan bergeming.

"Naik."

Bulan hanya menurut, untuk kali ini saja. Ia sudah kacau.

Rio memacu motornya. Ia masih mendengar isakan Bulan yang bertubi-tubi. Rio hanya bisa meringis, baru kali ini ia mendengar tangisan itu.

Rio membawa Bulan ke suatu tempat, tempat kemana ia ingat kata mamanya, bahwa itu adalah tempat yang sangat menenangkan. Air terjun.

"Lo mau buang gue di air terjun?" ucap Bulan ketus.

"Gila ya pikiran lo negatif mulu sama gue."

Rio berjalan menuju air terjun, gadis yang diajaknya masih berdiam di samping motor Rio, mengusap air matanya dan menahan senggukannya.

"Sini!" Rio memanggilnya.

Bulan berjalan lemah, sebenarnya ia malas. Seorang ketua osis pasti orang yang sok perfect jadi malas.

"Tuh liat deh." Rio menunjuk ke arah air terjun yang sangat indah. Air terjun itu tidak deras, di sampingnya pun terdapat taman yang ramai dikunjungi orang-orang untuk rekreasi dan bersantai.

"Dulu kata mama gue, kalo liat air pasti tenang.  Apapun masalah lo rasanya bakal ilang dialiri air."

Bulan terdiam.

Memang gemiricik air terjun itu dan suasana taman yang hijau dan indah membuatnya sedikit lebih tenang, udara sejuk yang mengusap kulitnya pun menenangkan.

"Gimana?" tanya Rio.

"Iya." Bulan tersenyum.

Deg

Rio menutup wajahnya, kenapa rasanya panas begini?

AyahWhere stories live. Discover now