Ayah-5

441 15 0
                                    

Indi berdiri samping koridor yang menghadap ke belakang sekolah. Kedua bola matanya fokus untuk melihat satu gadis yang terlihat di antara gerombolan laki-laki badung sekolahnya.

Sekali lagi ia meyakinkan batinya bahwa gadis itu bukan Bulan, tapi logikanya berteriak bahwa itu Bulan dan tidak bisa dielakkan lagi.

Dadanya berdegup, diiringi hentakan kakinya yang sedikit gentar. Indi menghampiri gerombolan itu perlahan. Ia sangat takut, kalau-kalau itu memang bukan sahabatnya. Hingga ia sampai tepat di depan gerombolan yang masih tengah asik bersorak-sorai kehadapan satu gadis yang menghisap rokoknya. Hati Indi terhenyak, bukan tanpa alasan. Tapi karena ia melihat sahabatnya menjadi seperti orang yang tidak bermoral.

"Bulan, " lirihnya.

Seketika semua mata memandang ke arahnya termasuk gadis itu, Bulan.

Bulan membulatkan matanya, untuk apa Indi kemari? Bukankah ia paling tidak berani berada di situasi seperti ini? Ia kembali menghisap rokoknya.

"Temen lo?" salah satu laki-laki menatap Indi naik turun.

Bulan menghelas nafasnya, "Bukan."

Indi tersentak, Bulan tidak menganggapnya teman? Sesadis itukah dia?

Indi membalikkan badannya dan melangkah pergi. Air matanya mengalir, hatinya remuk. Adakah yang lebih sakit dari dikhianati sahabat sendiri?

Bulan hanya diam, melihat kepergian sahabatnya. Ia ingin sekali memeluk Indi, mengatakan bahwa semua ini sandiwara. Tapi ia tidak ingin Indi ikut-ikutan sepertinya, Indi adalah gadis yang baik. Bulan tidak mau Indi berteman dengan orang macam dirinya hari ini.

Bulan melanjutkan menghisap rokoknya sampai habis. Lalu ia membuang puntungnya. Ia bangun dan segera berjalan pergi.

"Eh mau kemana lo?"

"Terserah gue, btw makasih udah ngajarin gue, " lalu ia memperagakan gaya merokok setelah itu melenggang pergi.

Menurutnya, setidaknya sedikit saja rokok bisa membuat pikirannya sedikit lebih tenang. Melupakan masalah-masalah berat dalam hidupnya.

Ia melangkahkan menuju kelas, disitu ia melihat Indi menutup wajahnya dengan tumpukan tas. Hatinya teriris. Tapi sungguh, perasaan ini harus ia binasakan dengan cepat.

Indi menaikkan wajahnya, menatap Bulan yang berjalan menuju bangkunya di belakang kelas. Ia memanggil gadis itu lagi, "Bulan."

Yang dipanggil Bulan hanya menoleh menatap kesal ke arah Indi yang menampakkan wajah sedihnya.

"Lo bisa gak sih jangan urusin hidup gue?" Bulan menatap lekat-lekat mata Indi. Hatinya berdegup. Ia ingin melepaskan rasa persahabatan itu sekarang juga, melepaskannya jauh, jauh sekali bila perlu tidak kembali.

"Lo, jangan kaya gini dong. Kalo lo ada masalah, lo bisa cerita sama gue." Indi melirih.

"Stop deh In, gue risih." Bulan kembali melanjutkan langkahnya dan duduk di tempatnya. Sesegera mungkin ia memakai headset menghindari pendengarannya dari nyinyirnya orang-orang di kelas.

Ia mendengarkan lagu sekencang-kencangnya agar tidak mendengar sekitar. Ia menutup matanya tidak ingin melihat apapun lagi. Rasanya ingin mati saja, menyusul Bunda.

*****

Hari ini Tyo benar-benar memiliki tugas yang menumpuk. Seperti hari ini saja, ia sedang meeting bersama clien dan sekretarisnya, seperti biasa.

"Baik terimakasih. Semoga kita bisa bekeeja sama dengan baik." ucap Tyo sembari berjabat tangan dengan seorang laki-laki yang terlihat lebih tua darinya.

Setelah kegiatan itu Tyo menyedot kopinya pelan. Ia lelah sekali.

"Pak, bagaimana keadaan anak bapak?" tanya Helda sembari membereskan berkas-berkas di meja yang terlihat berserakan.

"Masih sama, ia putri kecil saya." Tyo tersenyum kecut.

"Benarkan seperti itu? Tampaknya akhir-akhir ini Pak Tyo sering tidak fokus." Helda duduk menatap iba atasannya itu. Ia tahu kabar bahwa anak atasannya itu berubah semenjak Bundanya meninggal. Ia tahu, secara tidak sengaja itu adalah karenanya.

"Anak saya tetap anak saya yang dulu walaupun sedikit berubah. Ya namanya juga pertumbuhan."

"Iya ya pak, anak saya juga aduh repotnya kalo mau sekolah harus dandan dulu. Padahal laki-laki dasar memang." Helda menceritakan anaknya.

"Pak, maaf gara-gara saya—"

"Sudah Helda, berapa kali kamu sudah berkata seperti itu pada saya? Saya sudah mengiklaskan kepergian almarhumah istri saya. Ini sudah jalannya." Terlihat senyum getir pada wajah Tyo, ia rindu, amat sangat merindukan istrinya. Ingin rasanya ia ikut mati bersama Maria, merengkuhnya, dan menceritakan segala hal yang belum dapat dijelaskan.

"Tapi karena saya anak bapak—"

"Sudah, saya bisa mengatasinya. Dia adalah peri kecil saya, saya akan merawatnya dan menjaganya apapun yang terjadi."

Brak!

Meja itu berantakan lagi. Sepasang tangan itu adalah pelakunya. Mata Tyo terperangah melihat siapa yang melakukan keributan itu.

"Apa lagi yang mau ayah jelasin kalo semua yang ada di sini udah cukup jadi bukti?!" suara gadis itu membuat Tyo dan Helda menghela nafas.

Iya itu Bulan, gadis itu terlihat penuh emosi. Tangannya yang berada di atas meja terlihat bergetar. Keringatnya menetes. Matanya terlihat berkaca-kaca menahan air mata.

"Bulan ayah baru saja selesai meeting ini salah paham." Tyo memegang jemari anak gadisnya itu. Berharap gejolak emosi dalam dirinya bisa mereda.

Gadis itu menepiskan tangannya kasar. "Basi ayah." mata gadis itu kini tertuju pada Helda.

"Perempuan gak tahu diri! Dasar perebut suami orang! Dasar bispak!" ucap Bulan penuh emosi. Air matanya tumpah. Sungguh ia benar-benar membenci wanita di depannya ini.

"Nak, kamu salah paham—"

"Kurang bukti apalagi sih?"

Tyo menghela nafasnya "Sayang, jangan—"

"Apa kamu malu? Biar semua orang di sini tahu. Kalian gila! Kalian yang buat bunda mati! "

Secangkir kopi yang ada di atas meja itu melayang di baju Helda. Siapa lagi kalau bukan ulan Bulan?

"Makan tu kopi, lenjeh!"

Bulan berjalan pergi. Tidak mendengar lagi teriakan ayah dan wanita yang ia siram dengan kopi.

Ia mengusap air matanya. Mati, hatinya mati rasa.

*******

AyahWhere stories live. Discover now