3rd diary

851 80 8
                                    

Sebenarnya, alasanku pergi ke Amerika hanya satu : untuk menghindari Toneri melenyapkan diri dari laki-laki itu seperti keinginanku saat kelulusan di SMA.

namun, siapa sangka di sana aku justru bertemu dengan Namikaze Naruto!
Hebatnya, aku terlibat ke dalam peristiwa-peristiwa epic fail yang tak terduga.

Kalau masih penasaran dengan kisahku, kamu wajib membacanya sampai tamat....
.
.

.
.


Flashback.

Upacara kelulusan SMA yang mengesankan. Siang itu, kami saling bertukar tanda tangan di seragam masing-masing. Acara sempurna untuk kelulusan kami. Euforia pada hari terakhir sebagai murid SMA kalu saja.... Toneri tidak menampakan batang hidungnya di sekolahku secara tiba-tiba.

Dia itu lelaki menyediakan yang pernah kukenal. Sampai sekarang, dia masih memohon kepadaku untuk balikan. Jujur, aku masih punya perasaan kepadanya. Tapi, aku tidak bisa menoleransi apa yang pernah dia lakukan padaku. Selingkuh. Itu cukup membuatku sakit hati. Dia mempermainkanku saat aku membutuhkan dukungannya karena keluargaku berantakan....

"Hinata." Toneri mendekat. Baju seragamnya juga belepotan pylox dan spidol, sama sepertiku.

Walaupun bajunya belepotan pylox, pria bernama Toneri otsutsuki itu tidak kehilangan aura maskulinnya. Postur tegap dengan bisepnya yang terlatih sudah cukup menunjukan bahwa dia seorang atlet basket. Rambut peraknya tertata gel. Rahang tegas dengan dagu meruncing dan wajah oval. Semua itu membingkai fitur wajahnya yang menawan ; mata tajam, bibir tipis melengkung pelangi terbalik, serta tulang daun meruncing kukuh.

"Aku perlu Hinata." Kata Toneri to the point

'Aku perlu Hinata'. Kalimat itu membuat lututku lemas.

"Hinata sudah ada janji dengan kami." Sakura menarik pergelangan tanganku.

"Kalian juga menghalangiku untuk berbicara dengan Hinata ?" Kali ini Toneri merajuk.

"Oh ya, permintaan maaf bisa kau lakukan kapanpun. Jangan ganggu acara kami." Suara Karin terdengar datar.

"Jadi, ayo kita ke kantin." Sai merangkul pundakku, mencoba menjauhkanku dari Toneri.

Tapi, sebelum kami berbalik menuju kantin, jemari kukuh Toneri sukses menyambar pergelangan tanganku. "Aku perlu Hinata sebentar."

Teman-temanku meradang, tapi aku terlalu tidak berdaya untuk menolak permintaan Toneri yang sungguh-sungguh itu.

"Kamu gak boleh seperti ini, Hinata." Toneri memakuku dengan tatapan tajamnya. "Kamu nggak boleh menggantungkan hubungan kita. Aku harap kita bisa saling jujur pada perasaan. Bukankah kita masih saling menyukai-"

"Berapa kali aku bilang, hubungan kita sudah berakhir-"

"Tapi,kamu mengakhirinya secara sepihak."
Ino dan Sakura mendengus bersamaan.

"Aku benar-benar menyesal, Hinata. Kau tahu sendiri, kita jarang bertemu. Kita beda sekolah. Aku sibuk, kau sibuk." Bla-bla-bla.

Last minute in manhattanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang