Pertemuan

870 81 9
                                    

Suara ketel dari dapur di lantai bawah membangunkan tidur siangku. Aku terenyak. Sepertinya, aku tertidur cukup lama.

Luas kamar yang kutempati selama berada di CA sekitar sebelas meter. Orang Amerika lebih memilih mengganti wallpaper daripada mengecat ruangan di dalam rumah. Dan, warna oranye dengan motif polkadot menjadi warna menarik dengan view jendela yang langsung menghadap ke pantai. Satu single bed ukuran besar terletak di sudut yang berseberangan dengan jendela, lengkap dengan sebuah kursi kayu. Lalu, lurus dari pintu masuk, terdapat cupboard untuk menaruh pakaian. Rak buku terletak di sebelahnya. Di kepala tempat tidurku juga terdapat rak buku, menyatu dengan bed.

Langit biru di luar sana sudah berubah warna menjadi jingga kekuningan. Sinarnya yang berwarna khas menyusup masuk ke kamar melalui jendela yang sengaja kubuka. Menerpa sebagian wallpaper di dinding kamarku, menghasilkan efek warna yang luar biasa.

Aku melangkahkan kaki mendekati jendela kamarku yang menghadap langsung ke laut. Pikiranku melayang kemana-mana. Di depan sana, perairan biru menghampar seolah tak terbatas. Keadaan hening yang membuatku merasa kesepian di lingkungan baru ini.

Baru beberapa jam aku di Hermosa, tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun aku meninggalkan Jepang. Tokyo memang sering mengesalkan dengan segala aktivitasnya yang kadang chaos. Tapi, seburuk apapun tempat lahirmu, pasti akan menyisakan kenangan yang membuatmu merindukannya.

Bukan...., bukan hanya tokyo saja yang membuatku merasa sepi. Aku merindukan teman-teman terhebatku. Merindukan sikap protektif Sai yang begitu dewasa. Merindukan celoteh Sakura yang terkadang menggemaskan. Merindukan omelan Karin yang tak henti-hentinya menyuruhku belajar ini itu. Merindukan Ino yang selalu menggosip ini itu sesukanya. Well, yeah, aku tahu saat ini mereka juga sedang tidak ada di rumah masing-masing. Kalau toh aku tetap berada di Jepang, belum tentu aku bisa bercengkrama dengan mereka tiap hari. Mereka normal, setidaknya begitulah aku menyebutnya. Mereka sudah menemukan kampus yang tepat, kampus yang sesuai dengan fashion masing-masing.

Lalu, aku ?

Disini-aku tidak mau mengakui ini-aku berlari dari masalahku.

Ponsel baru pemberian Sophie bergetar di atas tempat tidur. Papa. Nama yang tertera di layar ponsel membuat perasaanku sedikit lega.

"Halo, sayang ?"
Dadaku sesak dipenuhi rasa haru.
"Menikmati suasana baru di Hermosa ?"
Tidak, Pa. Tapi aku tidak mau mengucapkan itu kepada Papa. Aku sudah bertekad ingin berubah, demi diriku sendiri dan demi Papa.

"Menyenangkan, Pa." Aku berbohong.
"Pasti Neji cepat akrab denganmu. Sophie juga begitu baik."

Aku mengangguk. Untuk yang satu ini Papa benar. Neji sangat welcome kepadaku. Dia banyak membantuku sejak kali pertama aku menginjakkan kaki ke Hermosa dan-sepertinya-dia sangat senang bisa memiliki saudara perempuan.

Sophie-tidak ada yang perlu diragukan dari mama baruku itu. Dia sangat lembut dan baik. Tapi...., sepertinya, semua memang butuh waktu. Aku perlu beradaptasi dengan tempat baruku ini, membiasakan diri tanpa mendengar suara sahabat-sahabatku. Membiasakan diri dan mengesampingkan fakta bahwa aku harus berpisah dengan seseorang yang sempat kucintai setengah mati di Jepang sana. Aku juga perlu terbiasa berbicara dalam bahasa inggris sewaktu-waktu, dan ini membuat otakku cepat lelah. Aku perlu....

"Sayang ?" Suara Papa menyentakku, membuatku gelagapan. Tanpa sadar, sebulir bening air mata menetes di sudut mataku.

"Ada sesuatu yang kamu risaukan ?"

Perasaan Papa sangat peka, terlebih jika menyangkut perasaanku.

Aku menggeleng walupun Papa tidak bisa melihat gelengan kepalaku.

Last minute in manhattanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang