westlake village

694 58 2
                                    

Rumah sederhana bercat putih. Segalanya berwarna putih, kecuali atap dan pagar balkon di lantai dua. Rumah di depanku berbentuk seperti-kastil-kalau aku boleh menyebutnya seperti itu, tetapi lebih kecil. Terdiri dari dua lantai karena dari halaman depan aku bisa melihat dua tahap jendela di rumah itu. Rumah yang sejuk dan-well-hijau. Sepertinya, rumah itu sengaja ditanami berbagai macam bunga dan tumbuhan. Dedaunan hijau nyaris mengelilingi rumah itu, dengan beberapa batang pohon besar tinggi di belakang rumah yang terlihat dari depan.

Tempat Neji memarkir mobil juga di bawah rimbun dedaunan sebuah pohon. Pagar pembatas antar rumah adalah pagar hidup yang terpangkas rapi. Tingginya mungkin sepinggangku, mungkin juga lebih.

"Aku suka suasana di tempat ini." Aku menghirup udara dalam sebuah tarikan nafas panjang. Memenuhi paru-paruku dengan udara bersih yang bertebaran di udara.

Kami bergegas menaiki undakan yang terhubung langsung dengan teras depan.

Neji mengetuk pintu rumah beberapa kali. Seorang laki-laki tua membukakan pintu dari dalam. Rambutnya putih. Kerut-kerut di wajahnya agak banyak, menggambarkan pengalaman yang sudah dienyamnya di dunia. Laki-laki tua itu mengenakan kemeja kotak-kotak biru muda, celana dril biru tua, serta rompi hitam. Dengan topi koboi dan sepatu bot tinggi sebetis berwarna cokelat, sekilas dia terlihat seperti koboi berusia lanjut.

"Naruto." Sapanya dengan suara serak.

Naruto tersenyum kepada laki laki itu sambil sedikit menyingkir dari pintu depan.

Laki-laki itu melirik Neji. "Hello, Neji, long time no see." Ucapnya. "Dan kau... pasti Hinata ?" Dia menyalamiku setelah menyalami Neji dan Naruto.

Aku mengangguk.

"Jiraya, dia ingin bertemu Bella." Naruto membimbing kami masuk rumah.

Laki-laki itu bernama Jiraya. Aku sedikit merasa janggal mendengar seseorang yang lebih tua dipanggil hanya dengan namanya saja. Aku tahu budaya Jepang dan Amerika berbeda, tapi-menurutku-perbedaan yang satu ini terlalu mencolok. Di Jepang, aku terbiasa menggunakan embel-embel "san" atau "sama" untuk memanggil seseorang yang lebih tua. Tapi, di Amerika, you don't need it. Memanggil "nama" saja bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk keakraban (yang susah kupahami dan kuterapkan).

"Sure." Timpal Jiraya.

.
.
.
.

Selama beberapa jam Neji mengenalkan kepadaku seluk beluk rumah itu. Rumah gaya modern. Bangunannya mirip rumah-rumah di Spanyol. Terdiri dari tujuh kamar tidur dan tujuh kamar mandi.

Rumah ini tidak kalah besar dengan rumah di Hermosa. Kertas pelapis dinding didominasi dengan warna soft violet bermotif floral-warna kesukaan Sophie. Tampak bertabrakan dengan warna dinding di luar rumah yang nyaris putih semua. Sophie suka warna violet. Berbeda dengan Indonesia, di barat, warna violet melambangkan warna bangsawan.

"Jadi, kau dan Sophie hidup nomaden antara Hermosa-westlake village ?" Aku penasaran. Rumah sebesar ini mustahil jika di tempati oleh Jiraya. "Tidak." Sahut Neji. "Rumah ini seperti vila buat mom dan aku."

Bibirku membulat membentuk huruf 'O' -Tanda mengerti. "Lalu, Sky," Aku masih penasaran, "dia sering ke sini ?"-mengingat Naruto begitu hafal detail dan seluk beluk rumah ini.

"Sky ?" Neji bergumam sambil menahan tawa tiap kali aku mengucapkan nama itu. "Ya, Naruto sering kuajak kesini. Aku sering menghabiskan waktu di rumah ini saat liburan-tanpa mom."

Last minute in manhattanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang