-edited-
Present
Kepalaku terasa sakit karena menahan kantuk. Sejak kemarin aku tidak berani tidur. Aku sebenarnya sangat merindukan waktu tidurku. Tapi bayangan bahwa aku akan bermimpi, itu sungguh menakutkan.
Aku mungkin tidak akan selalu bermimpi. Tapi ketika mimpi itu datang, ketakutanku untuk bangun selalu muncul, aku akan terbangun dan terbebani dengan sebuah kewajiban.
Bisa jadi semua orang merasa kemampuan untuk melihat kejadian yang akan terjadi di masa mendatang adalah sesuatu yang keren. Tapi itu tidak berlaku untukku. Bagiku itu menakutkan.
Aku hanya memimpikan sesuatu yang buruk, sesuatu yang buruk bagi orang-orang di sekitarku ataupun orang-orang yang tidak kukenal. Yang ketika terbangun aku akan selalu berkeringat, terengah dan ketakutan. Lalu aku akan bergegegas dan berusaha mengubah takdir mereka.
Beberapa kali aku gagal mengubah takdir, dan aku merasa kecewa, merasa bersalah dan terpuruk. Aku benci perasaan itu dan aku merasa frustasi. Beda ketika aku berhasil melakukannya, mengubah takdir. Aku seringkali merayakannya dengan minum sendirian.
Frustasi namun lega.
Yang paling parah adalah, aku bisa bermimpi tentang semua orang, tapi tidak untuk diriku sendiri. Aku tidak pernah melihat kejadian tentang diriku sendiri dalam mimpiku. Aku tau aku ada disana, tapi selalu bukan mimpi tentangku.
Malam ini, kerjaku tampak berantakkan. Laptopku terbuka dalam keadaan mati. Buku-buku referensi tentang percintaan menumpuk di atasnya, kertas-kertas bertebaran tidak karuan.
Di usiaku yang ke 27 saat ini, aku telah menjelma sebagai seorang jurnalis umum di sebuah majalah online tentang gaya hidup. Aku menulis tentang segala hal. Aku bahkan memiliki kolom sendiri di majalah itu. Nama kolomku "Dreamer", seperti namaku. Kolom itu membahas tentang apa saja, ada tanya jawab juga, dan kebanyakkan emailku dipenuhi curhat.
Hmm...
Karena minggu ini kolomku bertemakan "percintaan", maka emailku sejak pagi penuh dengan curhat mengenai hubungan percintaan. Satu persatu aku balas seakan aku seorang ahli.
Padahal?
Padahal baru saja aku putus dari Marco. Setelah 1 tahun berpacaran akhirnya dia menyerah.
Bukan! Maksudku aku yang menyerah akan sikap otoriernya, dan dia menyerah akan mood-ku yang naik turun dan tempramental setiap kali aku bermimpi.
Dia tidak tau tentang kemampuanku. Aku memang menyembunyikan kemampuanku ini dari semua orang. Tidak ada seorangpun yang tau.
Aku melirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 8:40 malam. Mataku tidak sanggup lagi menahan kantuk, kepalaku terjatuh diatas tumpukkan buku.
Dan aku mulai berkeringat.
🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛
Pria itu nampak santai duduk sambil menyeruput kopinya disalah satu meja di Seven Eleven. Wajahnya yang cukup tampan tampak lelah. Dua kancing atas kemeja birunya sepertinya sengaja dibuka, rambut hitamnya terlihat acak-acakan.
Aku memperhatikan dari meja lain tak jauh dari mejanya, sambil sesekali melirik jam tanganku. Hampir jam 10 malam.
Aku mencoba mengingat kejadian yang membuatku berkeringat dalam tidurku tadi. Sekali lagi, mimpi buruk!
Kejadian ini seharusnya akan berlangsung jam 10:06 malam, dan sekarang sudah jam 10 malam.
Aku juga memperhatikan seorang lelaki bertopi yang baru saja duduk dimeja seberangku. Wajahnya terlihat tegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreamer - The Untold Story of Us - (completed - Ngga Jadi Direvisi)
خيال (فانتازيا)Note : Ini cerita pertama aku, tadinya mau di revisi tapi males mendadak. Silahkan baca sampai akhir november ini, setelah itu mau aku unpublished, soalnya...malu. Maaf kalau kamu bakalan menemukan banyak typo, kesalahan tanda baca, plot hole juga n...