3. Pertemuan (2)

40 10 3
                                    

Wanita itu mengangguk pelan sambil tersenyum. "Ya, aku Abigail." ujar wanita itu sambil berjalan keluar ruangan.

Wajahnya sama seperti Abigail tapi bedanya dia menggunakan kacamata. Mungkin Abigail memang menggunakan kacamata saat bekerja. Aku tidak menyangka kalau sifat Abigail sangat lembut. Saat ia menenangkanku, tangannya yang mengelus-ngelus wajahku terasa sangat menghangatkan. Atau sifat Abigail sesungguhnya memang seperti itu?

Tak lama ia pun kembali ke ruanganku. Ia membawa sebuah speaker kecil dan sebuah bak instrumen (tempat menyimpan alat-alat medis yang steril). Ia langsung menyambungkan speaker tersebut dengan hpnya. Otomatis musik dari hpnya terdengar lebih keras dari sebelumnya. Ia pun duduk di kursi sebelah ranjangku. Lalu dia menggulung bagian tangan kanan baju rumah sakit yang aku kenakan.

"Kau seharusnya jangan banyak menggambar dulu. Lihat, jahitan lukamu terbuka sebagian." ujar Abigail. 

"Aku tidak menyadari kalau lukaku terbuka lagi. Maafkan aku membuatmu bekerja dua kali." jawabku. Dia teliti sekali. Dia mengobati lukaku lebih lembut dibandingkan sebelumnya. Aku terus memerhatikannya. Kacamata bulat sempurna sangat cocok di wajahnya. Rambutnya yang panjang, hitam, dan berkilau diikat setengah. Wangi parfumnya sangat ciri khas. Aku sangat nyaman berada didekatnya.

"Sudah. Kau tidak merasa sakit sedikitpun ?" tanyanya sambil merapikan peralatan dan memasukannya ke dalam bak instrumen. Aku menggeleng.

"Aku sudah mendiagnosa kejanggalan yang terjadi denganmu. Tapi aku perlu memastikannya. Boleh aku bertanya sesuatu?" tanyanya. "Tentu." jawabku sambil mengangguk.

"Bisakah kau menceritakan padaku tentang masa lalumu ? " tanyanya sambil mengecilkan volume lagu dari hpnya. "Apa penyakit ini ada hubungannya dengan masa laluku ? Aku tidak mau menceritakan masa laluku pada orang asing." jawabku. "Iya ada hubungannya. Baiklah aku tidak akan memaksamu untuk bercerita. Tapi percayalah padaku, aku seorang psikolog. Jika kamu mau menceritakan sesuatu yang mengganggumu, ceritakan saja padaku. Mungkin aku bisa memberikan solusi." jawabnya sambil berdiri dan membawa bak instrumen. Ia berjalan keluar ruangan. "Abigail. Kamu mau kemana?" ujarku. Tapi dia tidak mendengarku. Dia sudah keluar dari ruanganku.

...

Jam menunjukan sekarang pukul 21.00. Ia tidak kembali keruanganku. Tapi hp dan speakernya masih ada diruanganku. Apa dia sengaja meninggalkan hpnya di ruanganku agar aku bisa mendengarkan lagu? Eh aku baru sadar. Ternyata hpku sedang di charger. Pasti charger ini milik Abigail. Dia baik sekali. Aku merasa bersalah saat menolak menceritakan masa laluku padanya. Padahal bisa saja dia membantuku mengatasi penyakit aneh ini.

Aku langsung memeriksa hpku. Banyak sekali pesan dari asistenku. Tapi saat ini, aku mengabaikan dulu pesan-pesan itu. Aku harus mencari Abigail dan mengembalikan barang-barangnya. Aku langsung memasang earphone di telingaku lalu disambungkan dengan hpku dan memutar musik. Aku membawa charger, speaker, dan hp Abigail. Di chargernya ada tulisan 'Abigail F' . Aku semakin yakin bahwa dia adalah Abigail yang aku tolong saat dia ditodong oleh preman.

...

Aku berjalan menuju meja resepsionis. Disana ada 2 orang perawat, aku pun langsung menghampirinya. "Maaf sus mau nanya. Kalau psikolog yang namanya Abigail F ada dimana yah ?" tanyaku. "Ohh Fasya, tadi saya lihat dia keluar. Tapi dia masih menggunakan jas dokter. Mungkin dia sedang di taman. " jawab salah satu perawat. "Fasya ?" tanyaku bingung. "Iya itu nama belakangnya. Dia biasa dipanggil Fasya." jawab perawat satunya lagi. "Oh baiklah, makasih sus." jawabku sambil meninggalkan meja resepsionis.

Dia diluar malam-malam begini. Mungkin aku harus membawa kopi panas untuknya. Sebelum ke taman, aku mengambil gelas kertas yang sudah disediakan di pinggir mesin kopi dan langsung mengisinya. Setelah itu, aku pun lanjut berjalan menuju taman. Aku melihatnya. Dia duduk sendirian di salah satu bangku taman. Aku langsung menghampirinya.

"Hai. Kenapa kamu disini ? " sapaku sambil duduk disebelahnya.

"Eh Alex, aku senang duduk disini. Di malam hari pemandangan nya sangat indah. Bintang bersinar terang." jawabnya sambil menatap langit.

"Tapi disini anginnya besar. Kamu juga tidak memakai jaket. Ini aku bawakan kopi. " ujarku sambil memberikan salah satu kopi yang aku bawa padanya.

"Terima kasih. Ngomong-ngomong kamu ngapain kesini ?" tanya Abigail.

"Aku mau mengembalikan ini. Terima kasih ya. " jawabku sambil memberikan charger, speaker, dan hp miliknya.

"Seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih. Kamu sampe menyusulku kesini untuk mengembalikan ini." ujar Abigail.

"Ah tidak, aku yang harus mengucapkan terima kasih. Kau juga sudah membuatku merasa aman dan tenang. " jawabku sambil meminum kopi yang aku bawa sampai habis.

"Eh itu kopinya sangat panas. Tenggorokanmu akan terluka kalau langsung diminum seperti itu." ujar Abigail sambil menatapku cemas.

"Oh iya aku baru ingat. Tapi aku tidak apa-apa kok. Jangan khawatir, kau tahu sendiri kan tubuhku tidak bisa merasakan sakit. Hehehe." jawabku sambil tertawa.

"Sekarang aku yakin kalau diagnosa ku benar." jawabnya sambil masih menatapku dengan wajah cemas.

"Oh ya. Aku kan tidak bawa baju kesini. Bolehkan aku pulang saja ke rumah ? Aku harus mengerjakan beberapa pekerjaan. Lagipula aku tidak nyaman berada di rumah sakit, disini sepi sekali. " ujarku sambil memasang wajah memohon pada Abigail.

"Baiklah, aku mengizinkanmu pulang tapi tidak malam ini. Besok pagi saja. Tapi kamu harus sering-sering ke rumah sakit agar bisa berkonsultasi denganku." jawab Abigail.

"Ok besok pagi aku akan pulang. Sebenarnya aku malas sekali kesini. Begini saja, kamu mau tidak jadi psikolog pribadi ku ? Jadwal untuk konsultasinya kita sesuaikan saja nanti. Tapi konsultasinya jangan di rumah sakit ini, kita bisa ke tempat yang nyaman agar aku bisa menceritakan semuanya." ajakku.

"Baiklah aku setuju. Boleh aku minta nomor telepon mu ?" jawab Abigail.

"Tentu." jawabku sambil memberikan nomor teleponku yang ada di layar hpku.

"Beritahu aku kalau kau ada waktu untuk konsultasi. Aku ke dalam duluan ya. Sampai jumpa." ujar Abigail sambil meninggalkanku. " Baiklah." jawabku agak berteriak.

Malam itu terasa sangat indah dengan bintang yang bertaburan di langit. Tapi ntah kenapa selama berbicara dengan Abigail aku merasa nyaman sekali. Jantungku juga berdetak tak karuan. Apa mungkin aku jatuh cinta dengannya ?

Abigail POV

"Aku tidak bisa berlama-lama dengannya. Wajahnya tampan sekali dan dia juga sangat baik. Jika aku terus mengobrol dengannya bisa-bisa aku jatuh cinta padanya. Tapi bagaimana ini. Dia menginginkanku menjadi psikolog pribadinya. Otomatis kita akan sering bertemu. Gawat, bagaimana kalau aku tidak bisa menahan perasaanku dan jatuh cinta padanya ?" ujarku dalam hati.

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang