Bahagian Tjinta Tempo Doeloe

11.2K 970 134
                                    

Tuan-tuan kolonial kita telah menurutkan "nafsu" mereka yang tak terkendali, dan dengan tidak peduli menghamili anak-anak perempuan negeri kita, anak-anak haram yang mereka nyatakan mendapat bagian "yang mulia" dari darah Eropa mereka. (E.F.E. Douwes Dekker)

Yogyakarta, 1854. perempuan jawa dengan seringainya yang bersahaja. kami menjujung tinggi etika dan sopan santun. bukan tanpa alasan, kami tumbuh dalam adat istiadat yang kental yang sudah ada dari jaman nenek moyang. tidak akan ada hal sekecil apapun dari tradisi yang lekang oleh jaman, sebelum pada akhirnya londo-londo itu datang dan berusaha menghilangkan jejak para leluhur.

aku bukanlah seorang putri yang memiliki darah bangsawan, ayahku bukanlah seorang priyayi, rumahku hanyalah sepetak gubuk yang terlihat seperti kandang ayam. Meski demikan ibuku adalah seorang penghafal al-qur'an. Ayah dari ibuku adalah seorang pedagang dan juga ahli tafsir kitab suci al-qur'an. beliau memiliki saung mengaji dimana setiap hari akan ada banyak orang yang belajar mengaji. Mulai dari anak-anak hingga orang-orang sepuh lanjut usia. Itu menyebabkan aku dibesarkan dalam bingkai agama yang khusu' dari keluargaku.

Pagi-pagi sekali, setelah sholat subuh berjamaah di langgar. Aku keluar dari rumah, matahari bahkan belum muncul. Sahabatku Lasmini menjemputku di rumah, bersama dengan ibu-ibu rumah tangga lainnya yang berbondonng-bondong hendak mencuci pakaian di sumur desa yang juga bersebelahan dengan sungai.

"bu, Ranti berangkat nyuci. Salamualaikum" teriakku pada ibu sebelum berangkat.

"yo hati-hati nduk" ujar ibu.

Mencuci di pagi hari sudah menjadi semacam kegiatan rutin. alasannya karena sumur yang digunakan warga, akan digunakan oleh tentara belanda ketika matahari sudah menyingsing. Dan karena yang mencuci baju adalah perempuan yang rata-rata adalah perawan dan para ibu-ibu muda, akan sangat rikuh untuk melihat lelaki londo telanjang bukan?.

Saat mecuci aku dan para wanita lain hanya dibebet oleh jarik. Karena biasanya setelah mencuci kami akan mandi. Selain mencuci ibu-ibu yang memiliki anak biasanya memandikan anaknya disini. Tentu saja setelah anaknya mandi disungai.

Sembari melakukan pekerjaan itu, kami saling bertegur sapa dan bercanda. Sehingga cucian yang banyak terasa sangat ringan untuk dikerjakan. seperti obrolan perempuan lainnya, bergosip dan memamerkan sesuatu. Meski aku tidak begitu menyukainya tapi entahlah aku selalu memiliki topic untuk dibicarakan dan ditertawai.

"Lasmini aku pipis dulu ya" ujarku berpamitan masuk ke jamban.

"he, Asmaranti. Sebentar lagi londo dateng" Lasmini memperingati, memang matahari sudah hampir menyingsing.

"ah sebentar saja" ujarku masuk kedalam jamban dan menutup gordennya.

Setelah aku membersihkan diri, aku mendengar suara kaki orang-orang yang berlari tergopoh-gopoh. beberapa diantaranya yang masih didalam sungai langsung mentas bahkan dalam kondisi masih basah kuyup. Aku segera keluar dari jamban ketika aku mendengar teriakan Lasmini dan ibu-ibu lainnya. "Asmaranti, Londo teko", ternyata diluar tiraiku sudah banyak tentara belanda yang bertelanjang dada. (teko : datang)

Mereka bersiul melihat kehadiranku. Ditambah aku masih menggunakan Jarik yang berbentuk kemben. Aku tertunduk malu, rasa takut dan risih menghampiriku. Takut diperkosa dan risih saat mereka menatapku dengan nafsu. Beberapa lelaki menggodaku dengan langsung membuka celana. Aku hanya tertunduk tak berani menatap. Dengan tingkahku seperti ini mereka malah tertawa terbahak dan menjadikannya lelucon.

"brukk". Mati, aku. aku terlalu menunduk hingga tidak sadar kepalaku terbentur sesuatu. bukan sesuatu yang keras, aku menabrak dada bidang seorang pria. Aku langsung melirik lelaki itu, mendongakkan kepala karena dia sangat jangkun. Tinggiku tidak lebih dari dadanya.

Perempuan Jawa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang