"tentu saja mbok dia masih hidup. Orang meditnya kayak gitu, buat makan saja eman." Jawab mantuku.
"bawa Mbok kesana." Suruhku mengomando. "Mbok ada urusan yang belum selesai dengannya." Tamabahku meyakinkan mereka.
"dia tidak akan mengizinkan kita masuk kerumahnya. Jangankan masuk, duduk didepan rumahnya saja mungkin dia akan mengamuk dan membawa pistol" Anjasmara meragu, tapi aku menatapnya mengemis yang mau tidak mau di anggukkan oleh anak-anakku.
Anak-anakku membawaku kesebuah Loji yang sangat bersih dan lebih luar dari terakhir aku meninggalkannya. Gerbangnya begitu tinggi dan bergembok tidak memungkinkan orang asing untuk masuk. Jendela-jendela tertutup rapat dengan tirai yang tidak memperlihatkan isi dalam rumah pemiliknya. Pohon mangga, pohon rambutan, pohon jambu, pohon sawo yang kutanam dahulu telah tumbuh dengan tinggi dan berbuah lebat. Loji itu masih luas seperti dahulu kala, hanya saja terlihat tak bernyawa dan menyedihkan. Aku menatap mataku, betapa aku pernah merasa hidup didalam sana. Aku pernah merasa menjadi orang yang paling bahagia dan bebas, sebelum aku tersadar bahwa kodratku memang bukan didalam sana.
"mbok gak ada orangnya, mungkin masih cari sarapan dipasar." Gumintir mengajakku pulang. Tapi aku memilih duduk didepan gerbang rumahku.
"ojo nggolek goro-goro ning omahku."(jangan mencari gara-gara dirumahku). Teriak seseorang semakin mendekat. Seorang lelaki tua berwajah caucasian dengan brewok yang tidak rapih, rambutnya putih dan gimbal dengan badannya kurus, ceking dan tak terawat ia mengayuh sepeda unta dengan kencang. Tangan kirinya memegang kemudi sepeda, tangan lainnya membawa pistol kecil. Dia menggunakan pakaian coklat tentara belanda, semakin dekat aku semakin bisa melihat lencana yang dahulu seringku pegang untuk dicuci. Ada Name Tag yang membuatku yakin bahwa itu dia diusia senjanya, Jendral Governor Sigfreid Van Schmidthamer.
Anak-anakku dan cucu-cucuku memeilih berlari terbirit-birit, padahal aku baru hendak berdiri dengan tertatih. "lah mbokku." Anjasmara tersadar bahwa ia meninggalkanku, dia memang anak yang berbakti dan memilih kembali dan hendak membawaku berlari pergi dalam gendongannya sebelum lelaki tua yang nampak mengerikan itu mendekat. Tapi aku menolak, aku hanya ingin berdiri didepannya.
Hingga sepeda ontelnya yang hendak menerjangku berhenti. Dia menatapku dengan tajam, setajam mata birunya waktu muda. Hanya saja keriput telah menhiasi wajahnya yang tertutup brewok dan rambut yang tidak ditata rapi. Berbeda dengannya yang dulu selalu memiliki rambut klimis dan gagah. Lelaki itu menatapku lama, seolah menelanjangiku satu persatu.
"kau pulang?" tanyanya. "moo.. moo..mooi Meisje" dia memanggilku dengan gelagapan.
Mata birunya menatapku tidak percaya. Mungkin dia kaget aku pulang dalam keadaan tua dan tidak secantik saat aku meninggalkannya. "apa kabar?" tanyaku rikuh.
Dia tertunduk. "sebenarnya ini tidak ada pelurunya." Dia membuka pistol yang sudah berkarat didalam genggamannya. Itu adalah sebuah pengalihan, aku tahu dia menangis dalam tunduknya.
"aku bertanya bagaimana kabarmu?" tanyaku menuntut.
"tidak pernah baik tanpamu." Jawabnya menyerah. "tapi aku yakin kau akan pulang, dan keyakinanku itu benar." Ujarnya. "apa dia anakmu?" tanyanya menunjuk Anjasmara.
Aku mengangguk. "masuklah, ajak anak-anakmu pulang juga." Suruhnya membuka gerbang dengan selebar-lebarnya. Dia juga membukakan pintu dengan lebar, pertanda ada orang didalamnya. Anjasmara hanya mengagumi bahwa rumah yang selalu nampak suwung kini terbuka pintu dan jendelanya.
"panggil adik-adikmu kemari." Suruhku pada Anjasmara. Dengan patuh dia berpamitan pergi, aku mengikuti Freid dibelakangnya. Memasuki ruang tamu yang tidak pernah berubah saat aku meninggalkannya. Ada lukisan wajahku yang begitu besar disetiap sudut ruangan, membuatku ikut merasakan kerinduan yang sama dengannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/99668051-288-k645634.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Jawa [END]
Fiction Historiqueinlander dimata belanda. hindia-belanda adalah negeri para monyet, hanya dihidupi oleh sekumpulan manusia pemilik strata terendah dari kehidupan. mereka dengan bangga memamerkan darah eropanya yang mereka anggap lebih tinggi dari bangswan kekratonan...