Selustrum

5.7K 494 49
                                        

Matahari menyibakkan cahaya hingga menembus setiap sela-sela tembok beton yang terlalu rapat. Cahayanya membias memasuki setiap lorong rumah dari jendela-jendela kaca yang menyebarkan aroma kehangatan. Telingaku mendengar suara bising dari orang-orang yang berbicara terlalu kencang. Aku membuka mataku, menyadari aku telah terbaring di sebuah ranjang besar dengan hanya berbalut kain selimut.

Posisi tidurku adalah miring berpangku dengan tangan diatas bantal yang terbuat dari bulu angsa. Menyadari ada tangan yang melingkar diperutku, aku menengok Freid masih terlelap di tidurnya. Wajahnya terlihat lelalah, mungkin dia bekerja hingga larut semalam. Aku saja tidak menyadari bahwa dia telah pulang. Tugas negara membuatnya sering lembur akhir-akhir ini.

Aku membalikkan tubuhku agar dapat melihatnya. Bulu matanya yang lentik, hidungnya yang terlalu mancung, pori-pori wajahnya yang merah, bibirnya yang memiliki benjolan kecil unik di tengahnya, serta kerutan yang mulai nampak di wajah garangnya. Dia masih terlihat tampan, menatapnya seperti ini dia nampak sempurna dimataku.

Sibuk aku menatapnya, Freid yang matanya masih terpejam mengecup bibirku dengan halus. Kemudian membuka matanya, lalu tersenyum. Dia tetaplah orang yang sama yang selalu memperlakukan aku dengan manis. "Goedemorgen, Mooi Meisje" ujarnya lirih dengan mata yang terlihat sayu,

"Goedemorgen" ujarku mengecup bibirnya lagi.

Aku segera bangkit dari tempat tidurku, begitu juga dengan Freid. Pagi itu kami memutuskan untuk mandi bersama di dalam sebuah bath tub dimana Freid selalu suka mengusap punggungku dengan tangannya. Melakukan semacam pijatan yang membuatku merasa relax.

"aku merindukan ibu" ujarku tiba-tiba.

Freid menghentikan pijatannya. Kemudian memelukku dari belakang. "aku disini bersamamu Cantik" ujarnya. aku mengangguk, mengerti apa yang dikatakannya.

Lelakiku Freid, sudah dua tahun kebelakang dia diangkat menjadi seorang Jenderal Gubernur. Aku ingat saat pertama aku memilih pergi dari rumah kedua orang tuaku dan memilih tinggal bersama lelaki belanda ini. lelaki yang selalu memperlakukan aku dengan sangat manisnya.

Aku sudah tidak lagi menggunakan jarik untuk menutupi badanku. Tidak juga aku memiliki keinginan untuk menggunakan pakaian-pakaian sarimbit seperti yang dilakukan nyai-nyai jawa lainnya. Freid lebih menyukai aku menyukai aku menggunakan rok dengan kerah baju yang tinggi. Aku yang dulu selalu menggulung rambutku, Freid selalu memintanya agar selalu terurai, terkadang aku meminta seorang babu untuk mengepangnya atau mungkin mengikat tengah rambutku agar sedikit terlihat rapi.

Menyandang predikat nyai. Aku mengamati wajahku yang dipantulkan oleh cermin. Jika nyai yang lain diperlakukan tidak manusiawi. Berbeda dengan Freid yang selalu membuat hariku begitu berwarna. Hingga aku tidak pernah menyadari 5 tahun telah cepat berlalu. menjadi seorang Nyai tidaklah seburuk yang aku pikirkan.

Mungkin memang aku tidak lagi memiliki harga diri di hadapan masyarakat. Bahkan wanita-wanita belandapun merendah-rendahkan aku. mereka mengatakan bahwa Nyai tidaklah lebih baik daripada seorang budak. Tapi persetan dengan mereka, aku bahagia menjadi Nyai untuk lelakiku.

Dibalik ceriman Freid berdiri dibelakangku, hari ini dia tidak sedang masuk kerja. Sehingga kami bisa menghabiskan waktu bersama sepanjang hari. Dia sedang Memeluk perutku, meletakkan dagunya diatas pundakku. Lalu mencium leherku.

"Freid apa aku cantik?" tanyaku.

"kau selalu cantik dimataku Mooi Meisje" ujarnya berbisik lalu mengecup pipiku, membuatku tersipu malu. "aku lapar" ujarnya membuatku tersenyum. Aku membalikkan badan kepadanya, dia semakin merapatkan pelukannya kepadaku. Ketika kami sedang dekat, dia selalu seperti perangko denganku. Sikapnya selalu hangat juga manis, meskipun terkadang dia memang agak mesum.

Perempuan Jawa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang