Bagian 5 : Mama kecelakaan

227 23 2
                                    

       

Malam ini... Tepat satu bulan semenjak Cia bertemu dengan cowok yang ada di sebelahnya. Ia menatap bintang-bintang yang tersaji di atasnya. Kini ia tengah berbaring di pangkuan Raya, dengan Raya yang mengelus lembut rambut hitam Cia. Tindik dan aksesoris yang tidak pantas dipakai perempuan sudah musnah dari tubuh Cia. Itu semua berkat Raya.

"Ray, inget nggak. Satu bulan yang lalu kamu nakutin aku waktu di bioskop?" Cia menatap Raya yang duduk menunduk menatapnya.

Keduanya berada di taman mini belakang rumah Cia. Tepatnya disebuah gazebo yang tidak beratap, menjadikannya tempat yang leluasa untuk melihat taburan bintang di langit malam.

Raya mengangguk. "Inget dong. Apalagi waktu aku nakutin kamu pagi-pagi di dalam mimpi kamu gara-gara kamu pura-pura strong di hadapan Mama kamu dan...," Raya menghentikan kata-katanya. Ia tersadar bawa ia telah keterusan membahas tentang Mama Cia. Dan kali ini, bukan lagi tatapan benci di mata Cia, melainkan tatapan nanar.

"Ci, maaf aku lancang."

Cia menggeleng pelan. "Nggak. Nggak papa kok, Ray," katanya parau. Meski cahaya tidak terlalu terang, namun Raya bisa melihat air bening mengalir turun dari pelupuk mata Cia.

"Ci--,"

"Aku egois ya, Ray? Aku pura-pura benci sama Mama dan Papa padahal aku sayang banget sama mereka," Tanya Cia dengan suara mencicit. Ia mengusap air matanya yang berlinang turun.

Melihat itu, Raya jadi menelasa. Kasihan Cia. Ia tahu bagaimana rasanya berada di posisi Cia. Ia tahu.

"Kamu nggak egois kok. Hal yang kamu lakuin itu wajar. Cuman jangan sampai kamu nyesel dengan perlakuanmu sendiri. Waktu nggak bisa kembali, Ci. Aku tahu gimana rasanya nyesel."

Cia bangkit dan baringnya, ia duduk bersandar mengikuti Raya. "Pernah nyesel gimana?"

Raya tersenyum getir. "Apa kamu tahu kenapa aku bisa meninggal?"

Dari awal, Cia memang tidak mengetahui penyebab kematian Raya. Yang ia tahu hanyalah, Raya itu hantu. Jadi dengan ketidak tahuannya, Cia menggeleng.

Bisa dilihat bahwa Raya tengah menerawang. Hal yang tidak pernah dilihat Cia sebelumnya.

"Dulu, aku punya masalah yang sama kayak kamu," Mulai Raya tanpa memandang Cia. "Ayah dan Ibu aku bercerai. Setelah Ayah dan Ibu bercerai, hak asuh ada ditangan Ibu. Dari dulu aku emang nggak deket sama Ibu, aku lebih deket sama Ayah. Makanya waktu aku tahu kalau hak asuh dipegang sama Ibu, aku nggak terima. Tapi mau gimana lagi, itu udah keputusan hakim."

Cia bisa mendengar Raya mendesah beberapa kali seolah-olah beban yang di tanggungnya tidak sedikit. Meskipun Cia belum memahami kemana arah pembicaraan Raya, tapi ia tetap mencoba memahami cowok itu. Ia usap pelan lengan kokoh Raya dan ia sandarkan kepalanya di bahu Raya.

"Mulai saat itu aku jadi cowok pembangkang. Suka tawuran, berantem, trek-trekan, bahkan suka ke club malam dan nggak pernah peduli sama sekali dengan Ibu yang selalu minta maaf akan apa yang sudah terjadi. Sampai pada akhirnya... aku udah capek hidup."

Tiba-tiba Cia mencengkram tangan Raya dengan kuat, ia mulai merasa tegang. Meski Raya merasakannya, tapi ia mencoba untuk tidak menghiraukan dan lebih memilih melanjutkan ceritanya.

"Malam itu, aku lagi mabuk, sendirian, dan putus asa. Aku nggak peduli kemana aku pergi, yang aku tahu adalah kakiku ngebawa aku ke stasiun kereta. Dan... Semua terjadi dengan cepat, Ci. Aku nggak ngerasa apa-apa, nggak ngerasa sakit sedikit pun. Yang aku tahu, aku sudah ada di tempat yang semuanya putih. Aku ketakutan, aku sendirian, dan di dalam kesendirianku itu aku dengar suara tangis Ibu manggil namaku." Raya terdiam sejenak. Tak terasa air matanya bahkan bergulir jatuh mengenai pipi Cia tapi Raya tidak menyadarinya. Cia yang merasakan air mata itu juga ikut menelasa. Ia tidak menyangka bahwa kejadiannya akan seperti ini.

PENUNGGU BIOSKOPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang