Bagian 6 : Raya pergi

186 23 0
                                    

Esok paginya Papa Cia datang dan mendapati anak semata wayangnya tertidur di kursi tunggu depan ruang ICU. Kemarin, saat Cia menelfonnya sambil menangis meraung-raung ia merasa sangat khawatir, terlebih saat Cia memberitahu bahwa mantan istrinya mengalami kecelakaan dan koma. Ia langsung membeli tiket pesawat penerbangan pertama pagi hari. Dan di sinilah ia, dengan mata pandanya karena sibuk memikirkan anak dan mantan istrinya ia duduk menghampiri Cia.

"Rici...,"

Cia membuka matanya yang berat secara perlahan. Kepalanya nampak sedikit pusing, mungkin dampak tangisnya semalam. Dan ketika ia sudah sepenuhnya membuka mata, Cia mendapati Papa nya lengkap dengan wajah kusutnya duduk di sebelahnya sambil mengelus rambutnya.

"Pa-Papa?" Cia bergumam tidak percaya. Papa Cia mengangguk dan tersenyum getir. Kondisi anaknya ternyata tidak jauh lebih baik, mereka sama-sama cemas pada orang yang ada di dalam sana yang tengah bertarung nyawa.

"Iya, sayang. Ini Papa."

Tanpa pikir panjang, Cia mengambur ke pelukan Papanya. Melepas rasa rindu yang teramat sangat. Ini kali pertamanya ia bertemu dengan Papanya lagi, dan Cia merasakan bahagia tiada tara.

"Pa... Mama, Pa...," Adu Cia lirih. Ia memeluk Papanya seolah tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.

Mana ada orang tua yang senang saat berpisah dengan buah hatinya, begitu juga dengan Papa Cia. Dengan rindu yang tertahan, ia membalas pelukan anak kesayangannya itu. Sama seperti dulu saat perceraian belum terjadi.

"Rici yang sabar ya. Mama pasti bisa selamat. Kita berdoa saja pada tuhan untuk kesembuhan Mama."

Cia mengangguk, ia bahkan tidak keberatan saat Papanya memanggilnya Rici lagi. Panggilan masa kecilnya.

Dari kejauhan, ada seseorang yang tersenyum melihat pemandangan di hadapannya. Raya, cowok itu turut bahagia akan perasaan Cia yang kini merasa bahagia karena kembali bertemu dengan sang Papa.

Tiba-tiba ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, diikuti dengan seluruh tubuhnya yang mulai transparan. Raya mengepalkan tangannya dengan rahang yang mengatup keras.

' Tolong jangan sekarang, kasih aku waktu sebentar lagi '

Hari-hari berlalu begitu cepat. Hari demi hari itu pula kondisi Mama Cia berangsur-angsur membaik. Bahkan tiga hari yang lalu Mama Cia sudah dipindah ke ruang rawat biasa. Dan selama itu pula Cia dan Papanya tidak pernah meninggalkan Mama dan mantan istrinya tersebut. Sesekali Cia tersenyum ketika melihat keakuran Mama dan Papanya lagi.

Ia menghela napas lega. Kalau memang ini akan berakhir indah, tolong jangan pernah hancurkan lagi ya, Tuhan.

"Kondisi Nyonya sudah sangat stabil, dan kemungkinan hari ini akan bisa rawat jalan di Rumah."

Cia menggenggam tangan Mamanya dan tersenyum. "Mama udah boleh pulang," tuturnya senang yang dibalas anggukan.

Papa Cia yang juga ada di ruangan itu bangkit dan memandang sekilah anak dan mantan istrinya. "Papa akan mengurus administrasi dulu. Setelah itu kita berkemas untuk membawa Mama pulang."

Sebelum Papa Cia benar-benar keluar, Mama Cia memanggil. "Mas, sebelumnya terima kasih banyak ya."

Papa Cia mengangguk seraya tersenyum lalu menghilang dibalik pintu.

Cia tersenyum. Ia bahagia, benar-benar bahagia. Semuanya kembali seperti semula. Itu semua berkat....

"Raya!"

Seperti baru teringat sesuatu, Cia berseru tiba-tiba. Raya, cowok itu! Kemana cowok itu selama ini? Kenapa ia tidak pernah melihat atau bahkan bertemu lagi?

PENUNGGU BIOSKOPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang