part 1

1.2K 102 3
                                    

Hai ini story repost ya.
Dari anak stefkivers stefan yuki lovers
Dengan author azura khamisty

 Dari anak stefkivers stefan yuki loversDengan author azura khamisty

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

YUKI KATOSTEFAN WILLIAM

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

YUKI KATO
STEFAN WILLIAM

“Stefan Dirga Pratama.” Wanita berkacamata itu mengeja nama Stefan lamat-lamat. Menekankan di setiap suku katanya. “Bisa tolong jelaskan, apa ini?”
Stefan melirik takut pada kertas kecil yang tengah wanita itu angkat di udara. Membuat Stefan lagi-lagi harus mengumpat dalam hati. Menyumpahi si culun Aldo yang sudah membawanya dalam situasi seperti ini. 
Bagaimana tidak Stefan sedang sangat membutuhkan kertas kecil penuh berkah yang bisa menyelamatkannya dari neraka bernama soal ujian, si culun bermata empat itu malah dengan sengaja—sekali lagi Stefan tekankan—DENGAN SENGAJA melempar kertas suci itu pada meja wanita tua yang sekarang tengah menatapnya horor.

Sialan!

Lagi-lagi Stefan hanya bisa meringis ngeri ketika guru yang merangkap sebagai wali kelasnya itu memanggil namanya.
“Ste-fan?”
Lagi-lagi Stefan hanya bisa meringis ngeri ketika guru yang merangkap sebagai wali kelasnya itu memanggil namanya.

“I-itu... itu kertas, Bu.”
“Saya tahu ini kertas,” sahut sang guru. Berusaha keras meredam rasa kesalnya karena harus berhadapan dengan murid troublemaker macam Stefan. “Maksud saya, apa arti dari huruf-huruf yang ada di kertas ini?”

Stefan mendengus. Jelas sekali kalau sang guru berniat membuat dirinya terang-terangan menyebutkan kesalahannya. 
“Itu... itu sontekan, Bu.”
“Milik?”
“Milik saya, Bu,” aku Stefan.

Ia tahu, berbohong pun hanya akan sia-sia. Guru di depannya ini sudah hafal tiap inci kelakuan Stefan. Malahan, kalau Stefan ketahuan berbohong, hukumannya akan lebih mengerikan daripada perpeloncoan-perpeloncoan yang sering dilakukan oleh para senior.

“Baik. Kalau begitu, sekarang kamu pergi ke lapangan dan hormat di depan bendera sampai jam pulang sekolah.”

Kepala Stefan yang sedari tadi tertunduk pun, mendongak seketika. “A-apa, Bu? Tapi ini kan... hari Senin.”
Dan sekolah Stefan memiliki kebijakan bahwa khusus hari Senin, jam pelajaran berlangsung hingga pukul lima sore.

“Ini baru jam satu siang, Bu,” protes Stefan setelah melirik jam tangannya. “Masa’ saya harus hormat bendera empat jam sih, Bu?”
“Memangnya kenapa? Kamu laki-laki, kan? Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Kamu sudah berani menyontek saat ujian di kelas saya, dan sekarang kamu juga harus berani menanggung risikonya.”

“Memangnya kenapa? Kamu laki-laki, kan? Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Kamu sudah berani menyontek saat ujian di kelas saya, dan sekarang kamu juga harus berani menanggung risikonya.”

“Tapi, Bu....”

“Laksanakan atau wali murid kamu, saya panggil.”

Mendengar ancaman yang satu itu, Stefan jelas tak mampu lagi berkutik. Dari seluruh hukuman yang ada, ia paling menghindari yang satu itu.

“Ba-baik, Bu. Saya pilih hormat bendera.”
***
Stefan patut bersyukur. Cuaca yang cukup mendung, membuat hukumannya terasa lebih ringan. Meski berdiri di tengah lapangan selama hampir empat jam, kepala maupun tubuhnya tidak terlalu banyak mengeluarkan keringat lantaran matahari yang memang tidak muncul seharian ini.
Kalaupun sakit, paling-paling Stefan hanya merasakan sedikit pegal pada kaki dan tangan kanannya yang sedang menghormat bendera. Sisanya, angin sepoi-sepoi sering kali menyegarkan tubuh dan wajah Stefan.

“Cepetan, nanti keburu hujan, loh.”

Dahi Stefan berkerut penasaran ketika melihat tiga orang siswi yang muncul dari koridor sekolah nampak berjalan terburu-buru ke arahnya. Atau lebih tepatnya—ke  lapangan upacara.

Kedua bola mata Stefan setia mengikuti pergerakan gadis-gadis itu. Kerutan di keningnya kemudian bertambah tatkala melihat ketiga gadis itu membentuk barisan membanjar di pinggir lapangan.

“Ngapain mereka?” gumam Stefan pelan.

Tak lama kemudian, ketiga gadis itu pun nampak merapikan barisannya. Setelah melakukan lencang kanan atau lencang kiri—Stefan tidak tahu apa bedanya, ketiga gadis itu pun berjalan tegak sambil mengayun-ayunkan kedua lengannya ke depan-belakang.

Baru setelah ketiga gadis itu berada di antara dirinya dan tiang bendera, Stefan menyadari kalau ketiga gadis itu adalah anggota paskibra. Mereka mungkin sedang melakukan tugas untuk menurunkan bendera.

‘Yes, berarti hukuman gue selesai. Benderanya kan mau diturunin, hahahaha.’
Sambil tersenyum senang, Stefan pun menurunkan tangan menghormatnya. Ia sudah berniat untuk beranjak dari tempatnya berdiri, sebelum rasa penasarannya mengalahkan niat itu.

Alih-alih pergi, Stefan malah memerhatikan bagaimana ketiga siswi itu bekerja.

Terus terang saja, ini adalah pertama kalinya Stefan melihat para pengibar bendera sedang bekerja. Maklum, Stefan kan langganan setia bolos upacara. Wajar saja kalau dia nggak terlalu tahu soal kibar-mengibar bendera.

Dan kali ini, tepat di depan matanya, Stefan bisa melihat bagaimana para pengibar itu melaksanakan tugasnya. Oh atau mungkin lebih tepatnya—para penurun bendera itu melaksanakan tugasnya.

Beberapa menit berlalu, bendera pun berhasil terlipat rapi di atas tangan seorang siswi berambut pirang kecokelatan. Stefan tak bisa melihat wajah gadis itu lantaran posisi gadis itu yang membelakanginya. Wajah kedua gadis lainnya pun tak bisa Stefan lihat dengan jelas. Membuat Stefan sedikit kesal lantaran ketiga siswi itu nampak fokus pada tugasnya dan sama sekali tidak menyadari kehadiran Stefan yang memerhatikan mereka sejak tadi.

“Hoy, Paskibra!” Iseng, Stefan memanggil mereka saat mereka tengah merapikan barisan untuk kembali ke pinggir lapangan. “Hei, jangan terlalu serius gitu, deh. Nanti cantiknya hilang, loh.”    

Merasa diabaikan, Stefan pun memberanikan diri untuk menghampiri mereka yang sedang berjalan tegak menuju pinggir lapangan.

Kemudian, tepat sebelum Stefan benar-benar mengganggu konsentrasi para pengibar itu, angin yang cukup kencang berhembus melewati lapangan. Dan karena angin itu pula, rambut pirang kecokelatan milik siswi yang memegang bendera, berkibar lembut begitu saja.

Membuat Stefan terpana.

Seperti waktu tak lagi berjalan, dan bumi berhenti berputar.

Semuanya hanya terpusat pada gadis itu.

Gadis yang sejak hari itu, berhasil menarik seluruh perhatian Stefan.

stolen heartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang