part 4

488 69 2
                                    

Senakal, seusil dan sebadung apapun Stefan, kalau sudah mengikrar janji, semua orang selalu bisa memegang kata-katanya. Begitu pun yang Yuki rasakan saat ini.

Semenjak kejadian sore itu, di mana Stefan berjanji untuk berlatih dengan serius, Yuki tidak  perlu lagi merasa kesal ataupun frustrasi menghadapi kelakuan menjengkelkan Stefan. Pemuda itu benar-benar berlatih dengan serius. Di sisa-sisa waktunya menuju hari seleksi, tak sehari pun Stefan melewatkan waktu latihannya.

Sore sepulang sekolah, ia selalu bergegas pergi ke lapangan upacara dan memulai latihannya. Entah melatih sikap sempurnanya, gerakan hadap kanan-hadap kiri, istirahat di tempat, sampai berteriak-teriak memberi komando, semua Stefan latih dengan serius.

Bahkan, Yuki juga sempat mendengar kabar kalau Stefan sering latihan di kelas saat jam pelajaran sedang kosong atau saat memasuki jam istirahat. Sekali waktu, Yuki juga pernah melihat Stefan melatih suaranya di gedung olahraga.

Dan terus terang saja, keseriusan Stefan itu membuat hati Yuki terenyuh. Ia tidak pernah menduga kalau Stefan yang selama ini selalu main-main dan menggodanya, bisa berubah menjadi seserius itu.

Seolah sosok Stefan yang dulu selalu membuatnya jengkel adalah orang yang berbeda dengan sosok Stefan yang kini berdiri tidak jauh dari tempatnya.

“BUBAR JALAN!”

Stefan berteriak lantang sebelum memutar tubuhnya dan mengambil satu langkah kaki sebelum berjalan seperti biasa.

“Fuuh,” desahnya setelah kakinya mencapai pinggir lapangan. Kemudian, ia berbalik dan tersenyum lebar memandang Yuki. “Gimana?” tanyanya seraya berjalan menghampiri Yuki. “Gue udah bagus, kan?”

Yuki tersenyum tipis. Ia kemudian menyerahkan sebotol air mineral pada Stefan. “Lumayanlah,” jawabnya.

“Hah, kok lumayan, sih? Tadi gue udah maksimal banget loh,” protes Stefan sambil membuka tutup botol minumannya.

“Uhm,” Yuki nampak mengetuk-ngetukkan dagunya, berpura-pura berpikir.

Sejujurnya, penampilan Stefan tadi sudah amat sempurna di mata Yuki. Hanya saja, ia tidak mau mengatakannya secara terang-terangan. Bisa-bisa Stefan malah kelewat girang dan tingkat percaya dirinya jadi overload. Walau Stefan yang sekarang bisa diajak serius, tapi tetap saja sifat-sifat dasarnya yang dulu itu masih mendarah daging dalam pribadinya.

“Ya, penampilan lo tadi cukup bagus,” lanjut Yuki.

Stefan tersenyum bangga. “Jadi menurut lo, gue bakal lolos?”

“Who knows?” jawab Yuki seraya mengangkat bahunya.

“Yes! Gue jadi nggak sabar buat seleksi besok, kalau gue lolos, lo kan jadi pacar gue.”

Yuki tiba-tiba saja tidak bisa menahan rasa panas yang menjalari kedua tulang pipinya. “U-udah, pokoknya lo fokus aja ke seleksi besok. Jangan mikirin yang aneh-aneh!”

Stefan tertawa. Ia kemudian meletakkan tangannya ke atas kepala Yuki. Mempertemukan pandangannya dengan netra kecokelatan gadis itu. “Gue janji bakal lolos seleksi, jadi lo dukung gue terus, ya.”
Lagi lagi dan lagi.

Lagi-lagi perasaan aneh itu menggelitik rongga dada Yuki. Belakangan ini, tiap kali ia melihat ekspresi dan mendengar nada serius Stefan, selalu ada getaran-getaran aneh yang menyerang dada Yuki.

Apalagi dengan posisi mereka yang terlampau dekat seperti ini, rasanya ada sesuatu yang beterbangan di perutnya dan melompat-lompat di jantungnya. Yuki bingung. Akhir-akhir ini Stefan selalu memberikan efek aneh pada kinerja tubuh dan jantungnya.

“Ka-kalau gitu sekarang kita pulang.”

Satu lagi keanehan yang belakangan ini Yuki idap. Ia jadi sering bicara tergagap dan memalingkan pandangannya dari mata tajam Stefan.
Lalu, saat Yuki berniat untuk menjauh dari Stefan, lelaki itu malah menahan tangan Yuki.

“Apa lagi?” tanya Yuki. “Ini udah sore, dan lo harus nyiapin seleksi buat besok.”
“Lo tahu nggak sekarang tanggal berapa?”

Alis Yuki bertaut. Merasa heran karena tiba-tiba saja Stefan menanyakan tanggal. “Um, karena seleksinya besok, besok kan tanggal 12, berarti hari ini tanggal 11.”

“Yap, tepat sekali.”

“Terus kenapa?” Dahi Yuki semakin mengernyit bingung ketika Stefan mengulurkan sebelah tangannya.

“Hari ini gue ulang tahun,” jawab Stefan antusias. “Tanggal 11 Agustus.”

  “O-oh ya?” sahut Yuki kikuk. Campuran rasa kaget dan perasaan bersalah karena tidak tahu-menahu soal itu. “Kalau gitu... selamat ulang tahun,” katanya sambil menyalami tangan Stefan yang tadi sudah terulur.

Sontak saja Stefan membalasnya senang. Ia langsung menggenggam erat sebelah tangan Yuki dengan kedua tangannya. Menangkupnya hangat. “Thanks, gue seneng banget dapet ucapan dari lo. Lo tahu, nggak? Gue sampai nolak ucapan selamat dari temen-temen gue yang lain, cuma supaya lo jadi orang pertama yang ngucapin selamat ulang tahun ke gue. Aih, senangnyaaa.”

“T-tunggu dulu, apa lo bilang tadi? Lo nolak ucapan dari temen-temen lo, cuma supaya gue jadi orang pertama yang ngucapin?”

Stefan mengangguk antusias.

“Ya ampun, lo emang cowok gila, ya.”

“Haha, biarin. Yang penting sekarang ikut, gue, yuk!”

“E-ehh? Ke mana?!”

“Udah ikut aja, ayo!”

Dan mau tidak mau, seretan paksa Stefan pada akhirnya benar-benar memaksa kaki-kaki ramping Yuki untuk mengikuti langkah besar pemuda itu.

“Stefan, jangan ke tempat
Aneh-aneh!”

“Iyaaa.”

***
Butuh waktu sekitar lima belas menit jalan kaki bagi Stefan dan Yuki untuk tiba di tempat ini. Sebuah rumah minimalis dengan dekorasi sederhana yang Stefan akui sebagai tempat tinggalnya.

“Yuki, ini Oma. Nah, Oma, ini Yuki.”

“Saya Yuki, Oma,” kata Yuki sambil mencium tangan Oma Stefan.

Sementara itu, Oma Stefan malah terdiam sambil melirik ke arah Stefan dengan alis terangkat.

“Calon pacar Stefan, Oma,” bisik Stefan menjawab lirikan Omanya.

“Ooh, hahaha. Ya sudah, ayo masuk! Kue ulang tahunnya sudah Oma siapkan,” ajak Oma Stefan ramah seraya berjalan memasuki rumah.

“Lo harus nyobain kue buatan Oma gue, itu enak banget loh! Tiap tahun gue—“

“Stef,”

Langkah Stefan yang hendak memasuk rumahnya terhenti kala Yuki menarik pelan bagian belakang seragamnya. 

“Kenapa... kenapa lo bawa gue ke rumah lo?”

“Hm?” Stefan mengernyit heran. Ia kemudian sedikit membungkukkan tubuhnya untuk melihat wajah Yuki lebih dekat. “Masih belum jelas, ya? Hm, karena hari ini hari ulang tahun gue. Ulang tahun ke-17, dan gue pingin ngerayain hari istimewa itu bareng lo dan Oma.”

“T-tapi... kenapa harus gue?”

“Ya ampun, banyak nanya amat, sih. Udah ah, masuk yuk! Oma udah nungguin ‘tuh.”

Tanpa basa-basi, Stefan langsung saja menarik tangan Yuki untuk masuk ke dalam rumah. Mengabaikan kebingungan dan kegugupan gadis itu yang masih kentara.

stolen heartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang