OTW (2)

4.1K 558 14
                                    

Perjalanan ke Malang bener-bener bikin capek. Ini belum sampai gunungnya padahal. Bokong gue rasanya panas. Kayak ada lpg terbakar di atas jok. Sialnya, si bencis dengan gak berperasaan malah tidur bersandar di punggung gue. Alamak. Lengkap sudah penderitaan beta.
Alhasil, gue setuju banget waktu Aldo ngajak break di setengah perjalanan. Mirip bocah terlantar, kami bersembilan duduk ngemper di mushollah pom bensin.

"Hoi, babik. Lo tuh ya. Gue udah bela-belain nahan emosi, lo masih aja gak peka. JANGAN NGOROK DI SAMPING TELINGA GUE." Yudhan nempeleng kepala Lola —yang gue yakin— niat banget. Lola yang baru aja jadi korban kdrt, berhenti berkedip. Gue yang lihat jadi takut. Jangan-jangan nih anak mau mewek? Oh, gak sekarang.

Untungnya Tuhan sayang gue, si Lola mulai sadar dengan ngedipin mata cepat. “Apa daya, gue capek Bang. Gak dikasih konsum sih.” Ucapnya, gak tau malu. Konsum, wtf, tai, babik. Emang dikata yang laper dia doang?!

“Tong, lo bisa gak diem? Lo dibonceng rewel amat mirip sapi. Kalau gak terima, turun aja disini se-ka-ra-ng.” Bahkan Diandra, yang jarang bereaksi sekalipun negara api menyerang, berubah jadi bete. Kami semua langsung diem, gak berani bikin guyonan receh dari omongan Diandra. Sejujurnya ucapan Diandra ada benernya juga. Tepat sasaran. Kami semua sama-sama capek. Lebih-lebih yang bonceng. Kalau ada yang protes macam si Lola, gue gak yakin bisa nahan napsu buat bunuh orang.

Akhirnya, Lola yang merasa paling bersalah karena udah bikin suasana santai jadi awkward, cuma nunduk lemah. "Ya sorry.." ucapnya pelan.

Gak ada obrolan apapun setelahnya.

Lima menit kemudian, 9 setan pun kembali melanjutkan perjalanan. Formasi boncengan berubah. Gue minta ganti sama Diandra karena gue udah gak kuat bonceng Bencis lagi. Yang lain : Lola ft. Arma, Muh ft. Aldo, Aldi ft. Bencis, dan Yudhan sendirian.

“Awas lo kalo tidur. Gue buang.” Ancam Diandra, pas gue lagi khusyu’ pasang helm.

Gue manyun sebentar. “Iye ah, jahat banget Babe. Cepetan ngebuuuuut…” teriak gue, menyemangati, niatnya sih bercanda. Sayangnya, Diandra justru menanggapi serius dengan meliuk-liukkan mio-nya lincah. Selip sana, selip sini.

Anjiiiing, nyawa gue rasanya melayang. Gue gak berhenti komat-kamit. Asli, ini horror banget woi!

Tapi gue gak berani protes, bisa dibuang beneran gue kalau sampai nekat ngelakuin itu. ‘Diam adalah emas’. Tutup mulut.

Dan waktu adzan dhuhur berkumandang, kami semua rehat sejenak buat ISHOMA alias istirahat, sholat, makan. Di tengah-tengah rakaat sholat dhuhur, tau-tau hujan turun. Gue yang bertindak sebagai imam, langsung mempercepat rakaat sholat jadi 50 km/jam. Ya mau gimana lagi, tas kami semua masih di emperan masjid. Daripada basah dan gagal muncak, mending cara pertama dah.

Setelah berdo’a, kami memindahkan semua barang bawaan kami. “Makan yok? Laper.” Kata Arma tiba-tiba. Daerah Malang emang terkenal dingin, ini juga alasan utama kenapa perut kami gampang keroncongan.

“Gue gak bawa bekal.” Balas Aldi.

“Beli bakso noh, sama gue.” jawab Yudhan, menunjuk abang tukang bakso dengan isyarat mata. Untung gak pake lagu, berabe kan kalau iya.

Aldi setuju, berdua mereka mengarungi hujan buat beli bakso. Gak romantis banget. Dasar. Kampretnya lagi, yang lain pada nitip karena males jalan di tengah hujan. Termasuk gue, wkwk.

30 menit kemudian…

Semua bekal dan bakso 9 setan udah habis.

“Hei, gimana kalau barang-barangnya kita kelompokin? Semua bahan makanan nanti dibawa Diandra, air mineral dibawa Aldo sama Aldi, tenda dan sebagainya gue bawa, Bencis bawa tikar, dan yang cewek-cewek tetep bawa barang bawaan masing-masing. Biar kalian gak capek maksud gue. Oh iya, Panty bantuin Aldo-Aldi bawa air mineral ya?” Usul Yudhan, yang sifat kebapakannya bangkit kembali.

Kami semua setuju dan mulai membongkar tas masing-masing. Barang-barang kemudian dikelompokkon dan dimasukkan dalam tas si pembawa. Gue ngakak waktu lihat tas Diandra udah mirip indomart berjalan, “Sumpah, sangar banget tong tas lo. Gak rugi lo ikut. Gak perlu repot-repot nyari supermarket di pucuk gunung. Haha.” Canda gue.

Diandra cuma ketawa, sama kayak yang lain.

Setelah semua beres, kami melanjutkan perjalanan. Kata Diandra tinggal dikit lagi. Karena gak tau jalan, gue iya-in aja.

Nah, pas nanjak (belum muncak) menuju kaki gunung Panderman, sepeda si Aldi agak bermasalah. Jadi deh, Bencis turun buat dorong, sedangkan Aldi memaksa motornya nanjak dengan meliukkan ke kanan dan di kiri. Gue baru tau kalau cara itu cukup ampuh buat mempermudah motor yang rewel di jalanan menanjak.

Begitu mendekati perkampungan yang paling dekat dengan Gunung Panderman, kami wajib memarkir motor ke area parkir khusus pendaki.

Sebelum memulai pendakian, kami membentuk lingkaran dan mulai berdo’a memohon keselamatan dari awal sampai akhir. Selesai berdo’a, Yudhan kembali mengingatkan apa aja pantangan saat pendakian. Kami cuma manggut-manggut mengerti dan mencoba menancapkannya di otak.

Terakhir, kami tos bersama.

Ya, petualangan kami baru saja dimulai.

###

Ah, part ini memang membosankan -_-

Tapi tenang, part selanjutnya bakal bahas hal yang seru-seru. Jadi, keep calm, oke?

Jangan lupa vote dan comment :D

Terima kasih <3

SatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang