Ini Panji, melaporkan langsung dari lokasi kejadian.
Oke, lebaynya agak berlebihan. Habisnya gue excited sih. Gue mau muncak!
Setelah selesai memarkirkan motor, gue pikir bisa langsung muncak. Eh ternyata, kami harus melewati jalan perkampungan dulu yang (untungnya) udah beraspal menuju tujuan pertama, Pos Pendakian.
Sekedar info, Gunung Panderman masuk dalam deretan pegunungan Putri Tidur. Bukan, ini bukan Putri Tidurnya Walt Disney. Adeh, buang deh pikiran itu jauh-jauh. Ini cerita asli Indonesia.
Penduduk setempat emang nyebut gitu karena katanya kalau dilihat dari jauh nih gunung kayak ‘kaki’nya si Putri. Sedangkan untuk ‘dada’ (ada juga sebagian yang menyebut ‘tangan’) dan ‘kepala’ masing-masing ditempati oleh Gn.Kawi dan Gn.Butak. Sedangkan, nama Panderman sendiri adalah plesetan lidah orang Jawa (yang medoknya gak ketulungan) dari Van Der Man. Nama seorang warganegara Belanda yang pertama kali mendaki gunung ini dan terkesima dengan keindahannya.
Sangat cocok buat pemula karena ‘hanya’ memiliki tinggi 2000 Mdpl sehingga bisa ditempuh dalam 1 hari perjalanan. Treknya juga gak terlalu terjal.
Tapi jangan lupa hati-hati lho. kalau gak hati-hati ya sama aja. Palingan jatuh. Ya kali kalau cuma patah tulang, yang pulang tinggal nama itu lho..
Ngeri. Banget.
Singkat cerita, setelah berjalan lurus dari parkiran, kami menemui pertigaan. Dari situ kami belok kanan, jalan dikit, sampai deh di Pos Pendakian (Pos Check Point). Akumulasi waktunya kira-kira 15 menitan lah. Sorry, gue lupa gak bawa penggaris buat ngukur jarak tempuh dari parkiran ke sini. Jadi, gue pakai skala waktu aja ya.
Kalau gue perhatiin sih, Pos Pendakian Panderman ini merangkap jadi rumah salah satu penduduk. Disini, kami wajib bayar tiket masuk Rp.3000/orang.
Sangar kan? Gue aja baru tau kalau naik gunung juga beli tiket. Kira-kira, di atas ada taman bermainnya gak ya?
Oke, harap maklum. Otak gue udah terkontaminasi sama THR (Taman Hiburan Rakyat). Itu tuh yang ada bianglalanya. Iya, yang biasanya ada lampunya warna-warni, wuih, keren kan?
Aduh, bahasan gue kemana sih!
Lanjut…
Di Pos Pendakian, gue sempet diajak ngobrol sama pendaki cowok (kece!) dari Bandung. Hoho.
“Kok baru datang atuh, kang? Rombongan dari mana?” tanyanya, dengan Bahasa Indonesia logat Sunda kental.
Gue jawab sok cool. “Dari Surabaya. Akangnya darimana?” lidah gue terasa aneh banget sumpah. Yang biasa pakai kata ganti ‘mas’ atau ‘bang’, jadi pakai ‘akang’.
“Saya dari Bandung. Ini mau pulang. Bawa rombongan berapa orang?” lanjutnya, ramah. Begitu sadar ada yang seger, rombongan cewek 9 setan + bencis nempel di belakang gue semua. Kampret.
“Sembilan orang, Kang. Akangnya sendirian?” Tuh kan, si Arma yang biasanya angel aja sampai ikutan genit.
“Saya mah sendirian aja. Nanti hati-hati, teh, akang. Habis hujan. Jalannya licin,” himbaunya pada rombongan kami. Gue cuma mengangguk dan segera mengucapkan terima kasih karena Diandra sama Yudhan udah kelar bayar tiketnya. Dasar dua cecunguk itu, kenapa cepet banget sih selesainya?! Gagal deh niat gue buat tukeran nomer hp.
Rombongan 9 setan melanjutkan perjalanan dari Pos Pendakian tepat pukul 5 sore menuju Latar Ombo. Pos 1 buat camp. Jalan setelah Pos Pendakian berupa paving. Kata Yudhan, kami gak perlu tergoda belok kemana-mana sampai pertigaan selanjutnya. Selain karena gak tau jalan itu tembus kemana, jalan yang kami lewati pun termasuk akses termudah dan terpercaya untuk memulai pendakian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Satan
Diversos[Boyslove] Pepatah bijak mengatakan : "Jika kamu ingin tau mana teman sejati, ajak dia ke gunung". Begitu pula Panji. Dia ingin membuktikan apakah pepatah itu berlaku secara universal-dia dan kedelapan sahabatnya? Motif lain, dia ingin meneguhkan h...