But

4K 550 13
                                    

Gue pengen nangis darah sekarang. Saking gak fokusnya tadi karena ditolak, gue sampai tidur di depan Bencis.

Wadefak. Kok bisa?!

Sialnya, dia bangun gara-gara gue gerak pengen pindah. “Kenapa lo?” tanyanya pelan.

Apa wajah gue sekentara itu sampai si Bencis tanya?

“Gue?” gue balik tanya, trus nunduk pura-pura tidur. Gak banget harus urusan sama Bencis, geli gue. Bencis tiba-tiba menggeplak kepala gue. “Lo gak usah pura-pura mati. Gak pantes. Wajah lo udah kayak setan gentayangan,” katanya tanpa perasaan.

Anjir, mana sakit lagi. Dia niat menggeplak kepala gue apa bunuh gue sih? “Gak apa-apa,” balas gue kesel sendiri. “Tidur sana.” Gue menepuk pipinya gemas.

Bencis menggembungkan pipi. Cih, jijik gue lihatnya. “Dasar sapi. Gue bilang tidur!” bisik gue gak mau ditolak. Bencis ngamuk kemudian balas menepuk pipi gue. Sinting. “Panty, Panty, Panty gila.” Ejeknya.

Untung ya gue punya hati sesuci Anna, coba kalau gak…gue bakar hidup-hidup nih anak!

Rrrr…rrrr…” gue mengerang dan unjuk gigi ala Serigala. Baru menjiwai acting, tiba-tiba tenda disingkap dari luar. Diandra masuk. Gue yang kaget, buru-buru sembunyi di dada Bencis dan menutup mata rapat-rapat. Malu abis.

“Kenapa tuh? Panty kumat?” tanya Diandra.

Gue gak berani buka mata ataupun bersuara. Meskipun pertanyaannya menohok ya. Asli.

“Gak tau, dia emang gila dari lahir.” Balas Bencis pelan.

Gue mengutuk dalam hati. Sebenarnya siapa sih temen gue? kenapa gak ada yang belain gue? Setan!

Gak ada suara kemudian. Pas udah sepi, gue buka mata dan melongok ke atas. Diandra dengan seenak udelnya tidur di atas tubuh Yudhan dan Aldo-Aldi. Gue heran, kenapa sih gue bisa suka orang gila macam dia? Apa gue terlalu dibutakan paras rupawannya? Emang, Panji bego banget dah.

“Tidur.” Tanpa permisi Bencis menarik kepala gue buat tidur lagi. Karena gak ada bantal, otomatis kepala gue kejedot tanah. Kayak ada manis-manisnya. Hiks. Semoga gue gak amnesia besok.

Dan mungkin karena dingin, dia meluk gue erat. Wajar lah. Turn on? No! Gue gak mungkin terangsang lah sama Bencis.

Hm..” dehem gue sambil meluk Bencis balik. Karena gak mau kecapekan nanti waktu muncak, gue pun tidur. 

Dan disinilah kesabaran gue diuji. Udara dingin benar-benar menyiksa tubuh gue yang terbiasa sama iklim dataran rendah. Sumpah, gue yang udah pakai jaket 2 lapis ditambah guling Bencis masih aja kedinginan sepanjang malam. Kesimpulan yang bisa diambil : jangan muncak. Eits, gue belum selesai. Iya, jangan muncak kalau belum siap tidur gak nyenyak  dan bangun tiap beberapa jam sekali.

###

Jam 2 dini hari, Aldo membangunkan kami semua.

“Bangun—” kata Aldo, kemudian menutup mulut. Gue yakin dia hampir aja keceplosan ‘bangun, kebo’.

Gak pakai banyak bacot dan protes, kami semua menurut. Yudhan menahan kami sebentar di dalam tenda karena ada yang mau dia sampaikan.

“Gue mau tanya, sampai sini ada yang masih ragu muncak?” tanyanya, membuka percakapan tanpa basa-basi.

Lola, Aldi, dan Muh angkat tangan. Yudhan mengangguk. “Gue gak maksa kalian. Buat yang gak angkat tangan, jam 3 nanti kita lanjut perjalanan. Siapkan semua peralatan secukupnya. Air, obat-obatan pribadi, slayer, sarung tangan, dan kamera atau hp. Gak usah rempong, tinggalin sisanya disini biar dijaga mereka bertiga.” Dia menunjuk 3 orang yang memilih tinggal di tenda untuk menjaga barang kami berenam. “Silahkan siap-siap. Gue kasih waktu 30 menit. Jangan molor kalau gak mau ketinggalan sunrise,” lanjutnya. Kami mengangguk. Setelah itu bubar dan sibuk dengan persiapan masing-masing.

SatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang