Realita

3.8K 553 17
                                    

Iya, mereka berenam dalam sebuah realita.

Aldo, Yudhan, Fuad, Arma, dan Diandra sibuk dengan urusan masing-masing. Gue merasa ditinggalkan, invisible. Kebahagiaan gue karena udah sampai puncak perlahan menguap.

Eh, gue mau foto sama Arma!”

“Bencis mana spidolnya? Gue mau nulis buat doi nih.”

“Lama amat sih! Cepetan, dong. Lemot.”

“Ayo foto bareng gue.”

“Gue mau selfie dulu, jangan ganggu.”

Norak.

Kepala gue pusing. Mereka berlima saling berbicara dan gak sekalipun menoleh ke gue, yang berdiri paling bontot. Gue terlalu sayang untuk membuka mulut busuk gue. Gue gak suka situasi ini. Gue capek. Duduk aja lah, males kebanyakan gaya.

Tiba-tiba, Arma menoleh. Kemudian menatap gue heran. “Panty, kenapa diem? Gak nulis salam buat seseorang?” tanyanya. Udah jadi kebiasaan tak tertulis kalau tiba di puncak gak boleh lupa menulis pesan untuk orang terdekat. Kebanyakan sih buat pacar, sahabat, atau calon gebetan.

“Gak apa-apa,” jawab gue tersenyum simpul. Kalau Arma, gue percaya dia memang baik dan perhatian dari lahir.

Diandra yang tadinya menikmati pemandangan tiba-tiba melirik gue sekilas, senyum miring sedetik, dan berpaling.

Bagus.

Gue langsung sakit hati. Gue dendam. Pulang dari sini gue pastikan gak akan ada perasaan spesial lagi. Gak peduli sebesar apapun rasa suka gue ke Diandra, gue gak sudi pacaran sama orang yang –bahkan—gak tau cara menghargai orang lain.

Disisi lain Aldo sibuk tertawa dan berfoto dengan Arma. Dan Yudhan asyik mencoret-coret spidol hitam ke kertas HVS yang sengaja kami siapin dari rumah.

“Buat siapa, Yud?” tanya gue, sebisa mungkin menekan rasa egois dalam diri gue karena haus diperhatikan orang lain.

“Gebetan dong.” Jawabnya, menyeringai. “Kalau Mas Yudhan yang ganteng ini lupa nitip salam buat gebetan, ntar siapa dong yang mencintai dia?”

Gue ngakak, asli nih orang gak di sekolah, dataran rendah, dataran tinggi, sikap gokilnya tetep aja gak ilang. Bikin hati gue sedikit mencair dan mulai membuka diri.  “Gue ikutan nulis ya?” ucap gue ke Yudhan.

“Sejak kapan sih lo sungkan sama gue?” tanyanya, mengejek.

Gue ketawa gak jelas. “Sejak kambing makan pizza,” kelakar gue yang dibalas cengiran gak ikhlas Yudhan.

Yudhan menyerahkan selembar HVS dan spidol ke gue. Baru aja mau nulis, Bencis dateng. “Spidolnya masih dipakai?” tanyanya, melirik spidol satu-satunya yang gue bawa.

“Iya, lo mau pakai?”

"Yoi, lo duluan aja."

“Gak deh, duluan aja.” Balas gue, ikhlas. Seikhlas cintaku padamu. Iya, semakin garing. Suasana hati gue emang gak mendukung buat bikin guyonan receh sih.

Bencis mengangguk dan memakai spidolnya duluan. Setelah selesai, dia langsung menyerahkan spidolnya kembali ke gue. Gue baru pegang, yaelah, satu cecunguk dateng lagi buat minjem. Kali ini gak ada sopan santunnya sama sekali.

“Gue pinjem. Lo lama amat pakai spidol!” Sebelum gue jawab ucapannya, Diandra lebih dulu merebut spidolnya dari gue. Gue harus mengepalkan tangan untuk menahan kemarahan yang berkobar dalam hati. Fuck lah.

Kelar, dia melemparkannya ke gue kemudian. Seandainya gue jadi Gosh Rider, gue bakal langsung bakar dia hidup-hidup. Gak pakai basa-basi.

Damn. Skip.

SatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang