Percaya (2)

126 4 3
                                    

"Apa kau percaya Tuhan?" Percakapan kami berlanjut malam itu setelah kami memutuskan untuk tidak saling percaya satu sama lain. Dia menoleh padaku yang menatap langit, sendu. "Aku pernah percaya dan pernah tak mempercayai-Nya. Bagaimana dengan mu?" Dia melempar pertanyaan itu kembali kepadaku. Diam. Semilir angin malam menusuk pori-pori. "Aku percaya adanya Tuhan." Dia tersenyum. Bukan senyum yang menghangatkan tentunya. Masih dengan senyum luka. Dia melanjutkan pembicaraan, "Aku pernah percaya pada-Nya. Banyak orang yang mengatakan bahwa aku adalah seorang yang taat pada Tuhan-ku. Aku terlalu fokus pada kepercayaan itu. Tiba-tiba badai memporak-porandakan kehidupanku. Seluruh pengharapanku menghilang. Termasuk Dia. Tuhan yang aku percaya menerangi temaram hidupku, menghilang dan meninggalkanku begitu saja. Membiarkan aku di dalam kegelapan." "Hidupmu sepertinya berat." Kemudian dia melanjutkan ceritanya, "Aku memutuskan untuk berhenti mempercayai-Nya. Kau tahu kenapa kan?" dia melirikku meminta jawaban, "Karena Dia meninggalkanmu (?)" aku menjawab ragu. "Ya, karena aku ditinggalkan. Aku tersesat. Tersesat dengan diriku sendiri tanpa pegangan. Aku tertatih menemukan-Nya. Tapi apa yang aku dapatkan? Dia bahkan tidak membantuku sedikitpun." Aku tahu hidupnya terdengar sangat berat tapi aku ingin dia tahu, "Aku tahu ini sulit bagi mu. Aku mengatakan aku percaya adanya Tuhan, kan? Aku memang mempercayai itu. Dia ada dan menciptakan kita semua termasuk kau dan aku. Dia mengatur semuanya. Sesuai kehendakNya sendiri. Tapi satu hal yang aku percaya dan selalu jadi tekad bagiku. Dia memang melakukan semuanya, tapi aku berhak mengatur hidupku. Aku bisa membuat jalanku sendiri. Aku tidak peduli Dia yang mengatur tapi yang jelas aku akan mewujudkan apa yang aku mau. Begitupun dengan kau." Aku menepuk pundaknya menyadarkan berharap dia kembali percaya pada Tuhan-nya.

19022017

Percakapan Antara Aku dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang