Nol Satu

92 8 0
                                    

Ayah yang sudah jaranga aku temui, tiba di depan halaman rumah saat jam menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit, mobil klasik miliknya memasuki garasi yang telah aku buka, saat pintu mobilnya terbuka aku bergegas lari ke arahnya,

"Ayah!" aku memeluknya erat karena sudah lama aku tidak berjumpa dengannya

"anak gadis Ayah kangen banget kayanya, mau kemana?" tanya Ayah melihat aku yang sudah rapih

"ada dines malem Yah, gantiin jadwal temen aku ada halangan, eemm Ayah pulang, aku malah pergi!" gerutuku menyesal

"kalau gitu Ayah anter aja" tawaran Ayahku langsung aku setujui dan duduk di kursi depan, sebelah Ayah

"Ayah uda lama banget aku ga ketemu, ga kangen apa?" aku terus memeluknya

"kalau Ibu kamu liat, dia marah Del" tegur Ayah, memang Ibu selalu tidak suka saat aku seperti pada Ayah, dia bilang aku sudah dewasa dan sepeantasnya tidak melakukan hal seperti itu lagi, takut-takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, katanya begitu.

"ya udah, Ayah pelan-pelan keluarin mobilnya supaya Ibu gak tahu kalau Ayah pergi lagi" ucapku dan tersenyum pada seorang satpam yang setia berada di depan rumahku, untuk berjaga.

Di dalam mobil yang sudah menjauh dari rumah, aku banyak membicarakan hal yang selama ini aku simpan seorang diri, hanya Ayah yang menjadi teman bicaraku saat di rumah.

"ga bisa apa pulang dulu gitu, sibuk kampus aja!"

"ayah juga klo ga ada jadwal nge-bimbing pasti pulang cepet, kangen anak ayah" ucapnya diikuti senyum hangat, Ayahku seorang dosen seni rupa di salah satu kampus negeri, aku tahu Ayah bisa saja melalaikan anak-anak bimbingan itu, tapi itu bukan tipikal Ayah, dia selalu siap kapanpun anak didiknya membutuhkan bimbingan.

"eh Ayah, tahu ga aku mau dikenalin ibu sama seseorang, ibu pikir aku apaan seenaknya dikenalin kaya gitu" protesku yang tidak bisa ku utarakan secara langsung di depan ibu

"beraninya sama Ayah, menggerutu di belakang itu ga baik" pepatah Ayah tiap kali aku mengeluh tentang ibu

"hemm, iya deh terus aku gimana? Mau aja gitu?"

"suruh siapa punya pacar engga di kenalin ke orang tuanya" ucap Ayah menggodaku

"kok gitu sih Ayah, belum waktunya aja lagian ga enak disuruh cepet-cepet, kalau ga jadi gimana? Kan malu"

"kalau dia benar mencintaimu, apapun resikonya pasti ia ambil, Ayah juga gitu dulu ke Ibumu" kenang Ayah

"zaman kan beda sekarang Yah, ga bisa langsung" ucapku ga mau kalah

"ya intinya, kalau kamu ada waktu apa salahnya untuk tahu siapa lelaki itu, Ayah yakin Ibu kamu juga ga akan menjerumuskan kamu, kan kalau ga cocok bisa langsung bilang, sekalian manas-manasin pacar kamu yang ga berani nemuin Ayah" lagi-lagi Ayah 'menyentilku' dengan keras atas ucapannya,

"disini aja Yah, mau langsung ke kantin, Ayah ikut?"

"ibu kamu daritadi kirim message suruh pulang cepet, mungkin dia masak sesuatu? Kamu tadi ga makan Del?"

"oh iya, Ibu emang masak sesuatu buat Ayah, aku mau beli kopi aja kok Yah"

"jangan keseringan beli kopi, Del!" perintah Ayah

"iya, Ayah hati-hati pulangnya dan makasih" pamitku dengan mencium telapak tangannya, "assalamu'alaikum".

Aku berjalan menuju kantin yang berjarak 200 meter dari tempatku berdiri, untuk bisa memesan makanan tersebut tanpa menggunakan uang jajan cukup aku tempelkan kartu pegawaiku disana, dan jatah makan malamku telah digunakan

"lho uda dines malem lagi, bukannya tempo hari.." ucap mbak Reni yang segera aku potong

"gantiin temen mba, makasih kopinya" aku pergi untuk menghindari obrolan-obrolan tidak penting dari mbak Reni yang selalu menggosipkan orang lain.

"Assalamu'alaikum.." ucapku memasuki ruangan itu namun tidam nampak seorang pun disana, kayanya lagi pada nyempling dan aku memutuskan untuk menunggu di kursi tunggu, ku lihat seorang lelaki masih berjas rapih duduk disana.

Aku tidak berani menyapanya, karena dia nampak sedang kesal, terdengar suara telpon masuk, karena itu bukan nada dering yang aku gunakan jadi aku merasa itu bukan untukku, tapi melihat dia juga mengabaikannya, aku segera melihat layar ponselku,
Bukan aku kok

Dengan seringaian kesal dia mengambil ponsel dalam saku jas nya, aku lihat nama pemanggil disana, "Mama" tertulis sangat jelas

"Iya, Wa'alaikumsalam"

Sayup-sayup aku mendengar mereka berbicara, karena jarak kami yang tidak cukup jauh ditambah keadaan rumah sakit sudah begitu sepi.

"Mamah harap kamu bisa dateng!" ucap seorang wanita di balik telpon lelaki itu

"aku ada urusan lain hari itu!" ucap pria yang duduk di sebelahku

"sekali ini aja, Tama ngikutin perintah Mamah, kamu udah Mamah izinin ya buat diem di apartemen kamu" entah apa janji yang mereka buat sepertinya ini hal serius

"karena Tama ga suka dijodohkan Mah!" ucap pria itu sedikit lantang

Masalah pria ini, sama denganku, dia juga akan dikenalkan dengan seseorang yang tidak ia harapkan, tapi setelah aku melihat pria itu, sepertinya tidak mungkin jika dia tidak punya seseorang dalam hidupnya, mustahil.

"ekhem!" suara itu terdengar jelas di telingaku, mungkin dia merasa aku sedang mendengarkannya

"maaf, saya ga sengaja denger" ucapku apa adanya

"sejauh mana kamu dengar perbincangan kami?" tanyanya penuh selidik

"emm," aku tidak berani menjawab hanya tersenyum karena merasa bersalah

Dia menatapku tidak suka, "tapi Mas, kita sama disuruh ortu buat kenalan sama orang yang ga kita kenal, wajar gak sih?" ucapku to the point padanya

Aku menghiraukan tatapan tidak suka yang ia lontarkan ke arahku, tapi aku semakin memberanikan diri bertanya padanya, "kalau gitu, mau ga kita kerjasama? Kebetulan beberapa hari lagi aku dipaksa ketemuan gitu, cuman ya.." aku menghentikan ucapanku saat melihat dia pergi menjauh dengan satu umpatan yang terdengar jelas di telingaku

"wanita gila!" ucapnya sambil berlalu

"Mas, win-win solution ini!" teriakku agar dia tidak menjauh

"Del, kamu ngapain teriak-teriak?" tanya Ratih yang baru saja sampai, dia teman dinasku malam ini

"itu, aku lagi ngobrol cuman ditinggal pergi" ucapku

"mana? Jangan ngehayal ini malam kamis tau!" ucapnya yang mengingatkanku akan hari dimana pertemuan itu dilakukan "ayo ah Del, serem jadinya" ajak Ratih seraya menarik lenganku.

"keluarga Bapa Miftah Hanafi!" teriak seorang rekanku, Sari, dari dalam ruangan Laboratorium, hal yang selalu kami lakukan ketika hasil pemeriksaan darah telah selesai

"engga ada siapa-siapa tuh di ruang tunggu!" kembali Ratih berkomentar

"tadi ada yang nanyain hasil lab-nya kok kesini, pasien tadi pagi sih cuman dia keburu pulang, dokter Hendri daritadi nelpon terus kesini"

"ya udahlah palingan kalo emang butuh besok kesini lagi" ucap Ratih yang selalu tidak suka direpotkan

Apa jangan-jangan pria tadi itu adalah keluarga Pa Miftah? Aku memberanikan diri mengambil resiko "emm kalo boleh tahu, dimana kantor atau rumahnya?"

"kantornya itu dipertigaan jalan ke rumah kamu Del, kalau rumahnya aku ga tau"

Kesempatan Del kapan lagi! Teriakku kegirangan dalam hati "ya udah besok pas pulang, aku mampir kesana, aku anterin langsung".

Semoga, aku bisa bertemu pria itu!

.
.
.
.

Yeaah kelar juga part ini, blm banyak pengunjung tapi ga apa2 cuman lagi suka aja berhalusinasi hihihi

190918
_Rf

IFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang