D-day
Hari itu akhirnya tiba, aku kira menunggu sampai dua hari akan terasa lama, tapi nyatanya hanya hitungan menit. Akhirnya aku ikut dalam permainan ibu, siap bertemu dengan pria yang ibu siapkan untukku.
"ibu harap kalian bisa berkenalan dengan baik, kasih kesan yang baik juga ya, jangan mentang-mentang engga ibu liatin kamu seenaknya!" itu perintah Ibu saat aku pamit untuk pergi menemui anak teman ibuku.
Pada akhirnya aku kalah untuk menentang perjodohan ini, Rio yang ku harapkan sebagai tameng tidak bisa memenuhi keinginanku, untuk dikenalkan pada ibu, mungkin karena aku berbohong jadi Tuhan membuat Rio tak memenuhinya, seandainya dia tahu bahwa aku dijodohkan, akan seperti apa reaksinya.
Dengan menghela napas panjang aku kembali meyakinkan diriku, untuk bisa meyakinkan pria itu agar bisa diajak bekerjasama, intinya kita sama-sama terima untuk di jodohkan tapi aku masih bisa berhubungan dengan Rio.
Kemarin malam, Rio mengejarku, dia kembali meluluhkan hatiku kembali untuk bisa menunggunya, ia kembali meyakinkanku bahwa hubungan mereka akan segera berakhir karena tinggal satu tahapan lagi agar dia bisa terlepas dari rasa hutang budi pada keluarga Narina yang bisa membuatnya jadi seperti ini, setelah aku tahu alasannya kami melanjutkan hubungan ini.
Tapi aku tidak bisa membicarakan perjodohan ini pada Rio, semua akan aku sembunyikan darinya, dan itu butuh kesepakatan dari orang yang akan kutemui hari ini.
"Ya aku bisa!" tekadku dalam perjalan.
Kedua ibu kami menempatkan pertemuannya di sebuah cafe di tengah kota Jakarta, begitu pesan Ibu kembali. Dengan langkah gontai aku memasuki cafe itu rasanya malas untuk menghadapi hari ini, semua yang ibu rencanakan harus berjalan sukses, walau harus mengorbankan anak tunggalnya.
Sambil menunggu pria itu, aku memesan Ice chocolate untuk mengurangi kegugupanku, tersisa 15 menit lagi sebelum pertemuan kami, aku terus menarik napas pelan sambil berlatih obrolan apa yang akan kami bicarakan.
Dengan rasa khawatir aku terus menunggunya mengucap berbagai do'a agar dia tidak setuju, jikalau setuju aku harus bisa mengajaknya dalam mengejar ambisiku, aku mengamati setiap orang yang masuk ke dalam cafe, sengaja aku memilih duduk diluar supaya bisa melihat langsung lelaki itu, dia mengenakan kemeja biru itulah clue yang diberikan ibu.
"Pokonya biru Del, nanti Ibu kirim fotonya!" aku hanya berkeluh, karena faktanya warna biru itu beragam dari muda sampai tua ada berbagai nama dengan awalan warna biru.
Aku yang fokus memperhatikan sekitar, secara tidak sengaja mengenali sesosok pria yang duduk di sebelah mejaku, itukan Tama! Pria yang akan aku ajak kerjasama kemarin, apa aku coba lagi sekarang? Ucapku dalam hati, mungkin dia mengenaliku karena akhirnya mata kami bertemu, aku memberanikan diri untuk memberinya senyuman.
"Pak Tama? Janjiannya disini juga? Kebetulan banget ya!" tanyaku sok kenal padanya, aku yakin dia mengenaliku karna suasana di luar cafe tak begitu ramai, seperti biasa tatapan tak senangnya ia lontarkan padaku
"Sekali lagi aku bertemu denganmu, artinya hidupku sial!" suara bass nya menggema, seperti suara pria kemarin malam tapi aku yakin itu bukan dia, kelakarku dalam hati
Dia tidak membalas pertanyaanku namun malah menyumpahi seperti itu, aku hanya tersenyum pasrah, seandainya bukan karna ambisi ini aku pun tak akan mau pura-pura kenal pada orang baru
"Yakin?" tantangku, yang tak di balas olehnya
Dia terus melihat jam tangannya, mungkin sudah tidak sabar menunggu wanita yang akan dikenalnya tak kunjung datang.
"akhirnya dateng juga ke tempat pertemuan, gak sibuk dengan dokumen-dokumenmu?" tanyaku kembali karena aku bosan hanya diam saja,
"Lebih baik aku menemui wanita itu, daripada aku di kejar olehmu!" tegasnya sambil memajukan kursinya agar tidak terlalu dekat denganku.
Ting.. Drrr..t
Pesan masuk dari Ibuku, begitupun dia yang sepertinya mendapat suatu pesan karna di detik yang sama kami berkutat dengan handphone masing-masing, seketika aku tersenyum ke arahnya yang menunjukkan wajah tak suka.
"Ck" dia mendecak "namamu Adelia Deandra?" tanyanya dengan wajah tak suka terarah padaku, aku mengeser kursiku untuk lebih dekat padanya.
"takdir sudah berkehendak, jadi setuju dengan ajakanku?" tanyaku penuh kemenangan.
*
Aku terus bersenandung riang pada akhirnya karena ternyata Tama yang akan Ibu jodohkan denganku, terlebih setelah kami bertemu hari ini, mungkin pekan depan akan ada pertemuan keluarga, otomatis mau tidak mau Tama akhirnya mendengarkan ideku.
"jadi gini Pak," celotehku terhenti karena protes yang ia lakukan padaku
"Tama aja panggilnya!"
"kamu kan lebih tu.." dia melirikku dengan tatapan tajam
"daritadi kamu manggil saya dengan nama ga ada masalah!"
"itukan, supaya tambah kenal aja, ah ya udah intinya gini, kita setuju dengan hubungan ini tapi aku ada syarat, bahwa aku masih bisa berhubungan dengan pacarku" saat aku mengucapkan kata terakhir, dia mengernyitkan dahi
"kamu punya pacar? Kok ga nikah sama dia?"
"panjang ceritanya, gimana? Bisakan oh iya apa kamu juga ada syarat?" aku mengajukan kertas yang sudah aku isi dengan petisiku
Dia menulis dengan cepat namun terlihat rapi, berisikan
Jangan kamu ganggu jam kerjaku, kapanpun itu! Bisa jadi aku lembur tiap hari di kantor"tapi, kalo ada keadaan darurat bisakan? Semisal ada acara keluarga atau aku akan melahirkan?" tanyaku
Tama yang sedang meneguk jus mangganya sedikit tersedak, aku menepuk-nepuk pundaknya untuk melancarkan saluran pernapasannya.
"kita ga akan sampai sejauh itu, saat ada ajakan menikah aku bisa lakukan tapi tidak untuk menghamilimu!" kelakar pria berusia 35 tahun itu dengan tegas.
"yaa, maksudnya siapa tahu kalo kamu khilaf!" aku mengakhirinya dengan cekikan tanpa henti, karena rasanya menyenangkan mengganggu Tama yang memiliki raut wajah serius.
"mimpi kamu!".
**
Cerita ini hanya fiksi belaka ya..
Qotd: kejarlah jika itu perlu!
Maret, 0719
KAMU SEDANG MEMBACA
IF
RomanceSebuah cerita konyol yang tidak dimengerti ketika kalian hidup dan bersosialisasi di sebuah benua Asia, Ini kisah Adelia Deandra dengan ambisinya, dimana dia berhasil meluluhkan hati seorang dokter yang ia incar selama ini, namun sisi lain ibunya i...