Nol Dua

142 18 7
                                    

H-2 Jum'at hari perjanjian dengan Ibu

Ya, aku harus berani untuk menemui lelaki itu kapan lagi aku punya kesempatan seperti ini, toh dia juga memiliki kasus yang sama denganku, harus bertemu dengan orang yang dikenalkan oleh kedua orang tua kami.

Setidaknya aku tidak mengenal dia, jadi jika skenario pertemuan ini berhasil kita sepekati, aku dan lelaki itu bisa mengakhiri hubungan tanpa ada perasaan apapun. Simpel!

*

Tepat pukul tujuh pagi aku mengganti pakaian dinas malam dengan kemeja bermotif bunga dan jilbab segitiga dengan warna pastel yang senada, ya aku memakai jilbab tapi aku belum bisa mengontrol perasaan salah yang seharusnya tidak aku rasakan pada Rio.

"aku pulang ya! Mana hasil Lab Pa Miftah Res?"

"ih, bukannya dari kemarin malem udah kamu simpen di tas kamu?" ujar Resti menunjuk tas selendang merah maroon yang sedang ku kenakan

Aku mengcek apa yang diucapkan Resti, dan benar saja kertas beramplop putih itu telah disimpan rapih di dalam tas-ku.

Tidak perlu waktu lama untuk sampai di kantor yang menjadi tujuanku se-pagi ini, semoga lelaki tadi sudah ada, pertemukan kami pertemukan kami!

Aku terus menyebutkan permohonan itu ketika turun dari taksi, "selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang wanita cantik saat aku memasuki lobby gedung itu.

Aku menghampirinya untuk bertanya, "kalau ruangan Pa Miftah dimana ya?"

"maksud anda, direktur utama kami? Pa Miftah Hanafi?" tanyanya kembali dan aku merogoh isi tasku untuk melihat nama yang tertulis di atas amplop itu

"iya, betul Pa Miftah Hanafi"

"apa anda punya janji?" tanya perempuan itu menjalankan tugasnya sebagai seorang resepsionis.

"ini, aku mau nyerahin hasil pemeriksaan lab milik Pa Miftah, aku disuruh untuk mengantarkannya" ucapku berbohong dengan bahasa grogi

"bisa anda titipkan disini, tidak apa"

"aku harus ketemu langsung, beliau yang minta" ucapku berbohong kembali.

"tapi sepertinya Pa Miftah belum datang mungkin beberapa menit lagi, kalau mau anda bisa menunggunya, di lantai 27 kantornya"

"iya, enggak apa-apa! Emm, kalau tidak salah dia punya anak laki-laki, kan?" tanyaku terlanjur malu

"iya, beliau punya dua anak laki-laki" jawabnya singkat, ketika aku ingin bertanya lebih lanjut, ada beberapa orang yang sibuk berada di depan meja tersebut.

"makasih" pamitku dan bergegas menuju lift.

*

Pemandangan di lantai ini terlihat menakjubkan, panorama kota Jakarta terlihat seperti miniatur kecil dengan tata bangunan kota yang indah.

Terdengar derap langkah tegap beberapa orang yang keluar dari ruang alumunium, aku ikut berdiri memperhatikan orang-orang yang melakukan hal yang serupa.

Seorang pria paruh baya berjalan di depan diikuti lelaki itu dan seorang perempuan yang mungkin sekretasrisnya, ah benar dia! Seruku dalam hati, perempuan itu tidak ikut dan duduk di meja yang sudah disediakan di depan ruang kerja direktur utama.

IFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang