7. Cinta Yang Tak Pernah Hilang

39.9K 5K 411
                                    

A.N: Dulu saya bilang mau bikin tanpa cast, ternyata saya ingkar janji. Hehe. Saya nggak tahan buat berbagi sama kalian wajah ganteng Erlangga, wajah cantik Vio, dan wajah imut Ola. Kalau beda sama bayangan kalian ya merem aja deh kalo ada fotonya. 😝😝

€€

Ola masih terisak-isak saat Pak Cahya dan Bu Ratna masuk ke dalam kamar. Baru kali ini Vio tidak mampu menenangkan Ola yang menangis. Dalam hati Vio berjanji akan menendang pantat lelaki itu jika dia masih berani menampakkan wajahnya di sini.

"Lho, Ola kenapa nangis?" Tanya Pak Cahya sembari duduk di sisi kasur yang lain.

Vio menatap lelaki paruh baya yang sudah dianggapnya ayah itu dan berucap tanpa suara. "Erlangga pulang."

Pak Cahya mengangguk mengerti. Beliau mengusap punggung Ola yang terisak-isak di dada Vio.

"Kakek bawain Bunnynya Ola nih. Kangen nggak sama Bunny?"

Ola menoleh, masih sesenggukan, dan duduk. Tampak berpikir apa ia akan terus menangis atau menerima boneka miliknya itu. Tak lama, Ola mengulurkan tangannya meraih boneka kelincinya yang sudah kumal itu. Boneka kelinci pemberian Galang saat ulang tahun Ola yang pertama.

"Nenek juga bawa buku cerita nih. Mau Nenek dongengin?"

Ola menghapus air matanya dan mengangguk. "Timun Mas, Nek," pintanya dengan suara serak sehabis menangis.

Vio bangkit dari ranjang dan mengambil minum untuk Ola lalu mendudukkan Ola di ranjang. Bu Ratna menggantikan posisinya duduk di samping Ola. Vio mengusap wajahnya dan duduk di sofa. Dia tersenyum menatap Ola yang kini sudah kembali tertawa ceria saat Bu Ratna membacakannya cerita.

"Ayah tidak menyangka Ola bisa langsung dekat dengan Nak Erlangga," Pak Cahya duduk di sampingnya, ikut mengamati Ola.

"Vio juga nggak ngerti, Yah, kenapa dia bisa begitu," dustanya pelan. Tentu saja Vio tahu kenapa Ola bisa langsung akrab dengan Erlangga. Karena Ola tahu, jauh di dasar hatinya, ada ikatan yang tidak mungkin terpisah antara mereka berdua.

"Sepertinya Erlangga bukan sembarang guru ya? Mobilnya saja bagus sekali."

Vio menghela napas panjang sebelum menjawab, "dia anak pemilik sekolah tempat Vio bekerja, Yah."

"Sepertinya dia tertarik padamu."

Vio memejamkan matanya. Tidak mungkin itu terjadi. Erlangga hanya sedang berupaya mendapatkan hati Ola. Bukan hatinya.

"Mungkin sudah saatnya kamu mulai mencari ayah untuk Ola, Nak."

Vio tertegun. Ucapan Pak Cahya pelan, namun dalam. Satu hal itu tidak pernah ada di dalam kepala Vio sejak Erlangga pergi dari hidupnya dulu. Bahkan saat menikah dengan Panji pun, itu hanya agar anak yang dikandungnya memiliki seorang lelaki yang dipanggil ayah. Walaupun kenyataannya Tuhan berkata lain. Dia tahu itu bahwa Ola butuh figur seorang ayah. Seorang yang akan mendongeng untuknya sebelum tidur, atau seorang yang nanti akan mengantarnya ke sekolah.

"Iya, Yah. Mungkin nanti," jawab Vio pelan. Entah kapan kata 'nanti' itu terwujud.

Pak Cahya mengusap bahunya dengan sayang. "Nak Darwin tampaknya begitu menyayangimu dan Ola."

Vio kembali memejamkan matanya. Darwin. Ya, dia tahu Darwin sangat menyayangi Ola, bahkan mungkin menyayanginya juga. Tapi Vio tidak bisa memanfaatkan itu hanya demi memberikan sosok ayah untuk Ola. Ini tidak akan adil untuk mereka semua.

Suara pintu yang terbuka membuat mereka semua menoleh bersamaan.

"Om Elaaang!!!" Ola menjerit dengan riang di tempat tidurnya.

VIOLET (SUDAH CETAK-TERSEDIA Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang