9. Cemburu

39.6K 4.9K 239
                                    

REPOST

Aku mampir, ya? Mau kubawakan apa?

Vio menggigit bibirnya saat membaca pesan dari Darwin itu. Sudah hampir satu minggu, Vio cuti dari sekolah. Beberapa kali teman-temannya datang menengok Ola. Sebenarnya kondisi Ola sudah jauh lebih baik. Bahkan bisa dikatakan gadis kecil itu sudah sehat. Hanya saja, Vio belum bisa meninggalkannya karena Bu Ratna belum kembali dari Samarinda. Tidak ada yang menjaga Ola.

Vio?

Kembali Darwin mengirim pesan untuknya saat ia tak juga menjawabnya. Matanya melirik ruang depan di mana ada Erlangga dan Ola yang sedang asyik bercanda.

Jangan bertanya kenapa lelaki itu ada di sini. Setiap hari, kalau Vio boleh menambahkan. Sejak Vio memberinya kesempatan untuk dekat dengan Ola, Erlangga tidak menyia-nyiakannya sedikitpun. Pria itu selalu datang setelah pulang dari sekolah. Bahkan kadang lebih cepat daripada jam pulang sekolah. Seperti hari ini. Dia sudah ada di rumah Vio sejak pukul sebelas. Erlangga bahkan marah-marah jika Vio mengusirnya karena ada temannya yang akan mampir sepulang sekolah.

Menghela napas, Vio membalas pesan Darwin dengan cepat.

Darwin, sepertinya kamu nggak usah mampir dulu. Olanya lagi manja. Lagi nggak mau jauh sama Bundanya.

"Kenapa kamu bohong sama Darwin?"

Vio melonjak dari duduknya mendengar suara itu dan menoleh dengan cemberut.

"Siapa yang menyuruhmu mengintip??" Tanyanya dengan kesal.

Erlangga menaikkan alisnya. "Ola manggil kamu, tapi kamu diem aja. Ternyata lagi asyik pacaran."

"Aku tidak pacaran!" Vio melotot geram.

"Lalu kenapa kamu melarang dia kesini?"

"Bukan urusanmu!" Vio memalingkan wajahnya. Dia benar-benar kesal pada Erlangga. Ingin rasanya mencabik-cabik wajah itu dengan kukunya dan mengumpankannya pada harimau.

"Bundaaaa!! Siniii!!" Ola berteriak dengan tidak sabar dari ruang depan.

Vio menarik napas panjang dan bangkit dari duduknya. "Ada apa, Sayang?" Tanyanya seraya duduk di karpet di sebelah Ola. Ola sedang mewarnai. Gambar seorang anak kecil yang sedang bermain ayunan sementara orangtuanya melihatnya seraya duduk di taman.

"Bagus sekali gambarnya, Sayang."

"Om Elang yang menggambarnya, Bunda," Ola mendongak bahagia.

Bakat menggambar Erlangga memang sangat luar biasa. Apa saja bisa menjadi gambar yang indah di tangannya. Yang Vio tahu, dulu Erlangga memang kuliah di jurusan arsitektur. Namun karena dia 'menghilang', lelaki itu tidak menyelesaikan kuliahnya.

"Ini Ola." Tangan Ola menunjuk anak kecil yang bermain ayunan. "Ini Bunda." Dia menunjuk seorang wanita yang duduk di atas tikar. "Ini Om Elang." Dia menunjuk gambar terakhir.

Vio memilih tidak menanggapinya. Pasti Erlangga yang berkata seperti itu padanya.

"Oh ya? Sepertinya Om Elang tidak setampan ini, Sayang. Mana pinjam pensilnya." Vio meraih pensil dan menambahkan coretan-coretan di rambut yang digambar Erlangga.

"Hei! Rambutku tidak seberantakan itu, Violet!" Erlangga protes dan meraih pensil yang dipegang Vio.

"Oh, dan ada kumis kan, Sayang, di atas bibirnya?" Vio mengambil crayon warna hitam dan dengan cuek membuat 'kumis' di sana.

"Oh, Violet! Kamu menghancurkan karyaku!!" Erlangga kembali merebut crayon itu sementara Ola tertawa melihat mereka.

Vio menjulurkan lidahnya pada Erlangga dan Erlangga mencubit pipinya dengan gemas. Ola bangkit dari tidurannya dan bergabung dengan mereka. Tangan mungilnya ikut mencubit pipi ibunya. Mereka bertiga tertawa selayaknya keluarga kecil yang bahagia. Dan jauh di dalam hatinya, Vio merasakan kehangatan itu. Sudah sangat lama dia tidak tertawa selepas ini. Rasanya begitu lega bisa tertawa.

VIOLET (SUDAH CETAK-TERSEDIA Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang