4. Kemiripan

40.1K 5.4K 337
                                    

"Pak Erlangga," Vio menyapanya dengan gugup. Mencoba sebisa mungkin untuk menghindari menatap perut wanita itu. Rasanya seolah ada pisau tak kasat mata mengiris jantungnya melihat tangan Erlangga yang berada di pinggang wanita itu.

Vio menghela napas pelan. Memangnya apa yang dia harapkan? Tidak mungkin Erlangga masih sendiri setelah lima tahun berlalu. Dia tampan, kaya, pintar, dan brengsek. Sangat brengsek hingga Vio menyesal masih sangat mencintainya.

"Kamu sendirian, Violet?" Lelaki itu bertanya lagi.

"Saya..."

"Bundaaaa!!" Ola berlari menghampiri dan memeluk pinggangnya. Wajahnya tampak berkeringat. Dengan lembut, Vio mengusapnya dengan tissue. Mencoba untuk mengabaikan suara terkesiap dari Erlangga.

"Dia..."

"Pak Erlangga," suara Darwin memutus ucapan Erlangga. Lelaki itu tersenyum dan menjabat tangan Erlangga dan istrinya. Istrinya menatap Darwin sesaat lebih lama.

"Kalian...suami istri?" Tanya Erlangga pelan.

Darwin menatap Vio dan tersenyum. "Oh, kami..."

"Bunda, ayo pulang. Ola ngantuk," Ola merengek manja dan meletakkan kepalanya di pangkuan Vio.

Vio mengangguk dan merasa bersyukur tidak harus berada lebih lama lagi disini bersama lelaki itu.

"Biar aku gendong Ola, Vi," Darwin mendekat dan meraih tubuh gemuk Ola.

Vio kembali mengangguk, tak mampu lagi bersuara sementara Erlangga terus menatapnya tajam.

"Erlan, ayo duduk, aku lapar," wanita itu menarik baju Erlangga dengan tangannya yang kurus.

Yah, walaupun sedang hamil, itu tidak membuatnya terlihat gemuk. Tidak seperti dirinya dulu.

"Sebentar, Han, aku harus bicara sebentar dengan Violet," dia tersenyum pada wanita itu dan kembali menoleh pada Vio. "Violet, bisa kita bicara sebentar?"

Vio berdiri dari duduknya membawa barang belanjaannya dan manggeleng. "Maaf, Pak, putri saya sudah kelelahan."

"Sebentar saja, Violet," bisiknya penuh permohonan.

"Maaf, kami permisi," Vio meraih lengan Darwin dan menyeretnya keluar dari restoran itu. Ola sendiri sudah tertidur di gendongan Darwin.

"Kamu nggak apa-apa, Vi?"

Vio menoleh dan tersenyum pada Darwin. "Ya, aku nggak apa-apa kok." Jawaban para perempuan yang selalu bertolak belakang dengan apa yang dirasakan.

Jika ada seorang perempuan yang berkata dirinya tidak apa-apa, yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa dia tidak baik-baik saja. Hanya saja mereka tidak bisa mengungkapkannya. Apalagi mengungkapkannya pada lelaki. Ketahuilah kalian para lelaki, itu hal sulit untuk dilakukan.

Perjalanan pulang berlangsung hening tanpa adanya percakapan antara Vio dan Darwin. Entahlah, semangat Vio turun drastis melihat kemesraan Erlangga dan istrinya.

Wanita itu sangat beruntung. Hamil dan ada suami yang menemani. Tidak seperti dirinya dulu yang harus berjuang sendirian. Belum lagi stigma masyarakat tentangnya yang menjadi janda di usia begitu muda. Itu benar-benar tidak mudah untuk dihadapinya. Hanya Ola yang membuatnya bertahan hingga saat ini.

"Terima kasih ya, Win," ucap Vio pelan saat Darwin mengantarnya sampai di depan pintu kontrakannya. Vio meraih Ola dari gendongan Darwin setelah membuka pintu.

"Aku pulang dulu ya. Istirahatlah, kamu kelihatan capek banget," Darwin mengusap rambutnya dengan lembut.

Vio tersenyum lemah dan mengangguk. Dia melambai saat Darwin berlalu dengan mobilnya dan segera masuk ke dalam rumah. Matanya menelusuri wajah Ola yang kini tertidur nyaman di kasur. Air matanya yang sejak tadi ditahannya akhirnya menetes.

VIOLET (SUDAH CETAK-TERSEDIA Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang