CINTA TERAKHIR

98 0 0
                                    

"Aku menangis sesenggukan sehari sebelum hari pernikahanku"

Tak tergambarkan lagi betapa hancurnya hatiku ketika tahu Arya sudah pergi. Tadi pagi dia masih menjemputku. Berboncengan kita menuju ke sekolah. Tiba-tiba motor yang dikendarai Arya oleng karena pecah ban. Setelah itu semua gelap. Hanya dinding putih yang kulihat ketika pertama kali aku buka mata. Ternyata aku berada di sebuah ruangan yang tidak begitu luas. Terlihat seorang wanita muda disampingku. Ternyata dia seorang perawat.

"Aku di rumah sakit?"

"Jangan bergerak dulu. Dokter belum selesai memeriksamu."

Tak kuhiraukan penjelasan perawat itu. Aku berlari dan mencari-cari kamar Arya. Aku berteriak hingga sebagian pengunjung rumah sakit melihatku dan ada beberapa yang terlihat kesal bahkan marah.

"Arya. Dimana kamu?"

Kudatangi lagi perawat yang tadi berada dikamarku.

"Suster, apakah aku dibawa kesini sendiri? Ataukah ada satu temanku?"

Aku berharap aku dibawa ke sini sendiri dan Arya yang membawaku. Mungkin Arya pulang atau ke sekolah mengabarkan keadaanku. Namun harapanku seketika buyar.

"Temanmu ada di kamar 203"

Aku segera mencari kamar itu. Perih di lengan dan beberapa luka dibagian yang lain tidak aku rasakan. Aku cuma ingin secepatnya melihat Arya. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja.

Ku buka pintu kamar 203. Nihil.

"Arya. Arya? Arya!"

"Maaf mbak, penghuni kamar ini sudah diambil keluarganya. Apakah Anda teman pasien di kamar ini yang tadi mengalami kecelakaan bersamanya? Kami sudah menghubungi keluarga Anda. Sebentar lagi orangtua Anda datang menjemput."

Aku berlari keluar rumah sakit dan kutinggalkan perawat itu begitu saja. Pikiranku begitu kalut. Sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal di hatiku namun sedikit harapan yang ada kupupuk dan kucoba kembangkan. Aku berharap semua baik-baik saja. Walau sebenarnya aku yakin, semua tak sebaik apa yang aku harapkan.

"Taksi"

"Sabar dong Non. Ini jalan umum. Emang nggak biasanya seramai ini. Sabar ya Non!"

Waktu seakan berjalan lebih lambat dari biasanya. Dan detak jantungku terasa begitu cepat berdetak. Aku mencoba untuk tenang dan menata kembali pikiranku yang mulai berkeliaran. Aku membayangkan kalau Arya ....

"Aryaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa ...."

"Sabar Merlin. Sabar" Kakak tertua Arya mencoba menenangkan aku.

"Semua salahku Arya. Seandainya saja aku tak memintamu melewati jalan itu pasti semua tidak akan terjadi"

Dan tiba-tiba hanya pekat yang kulihat.

"Bangun Lin, Merlin. Bangun." Kudengar suara ayah, ibu bergantian. Ada kalanya ku dengar tangisan meraung-raung dan kembali lagi ibu memanggilku.

"Merlin, tidakkah kamu ingin melihat Arya untuk yang terakhir kali?" Suara lembut kakak Arya membuyarkan pekatku.

"Arya mana? Sudah bangunkah dia?"

"Merlin, kamu harus kuat. Biarkan Arya pergi. Ini sudah jalannya"

"Semua karenaku kak, kalau saja ...."

"Tidak baik seperti itu Lin. Semua sudah seperti apa yang Tuhan gariskan. Ini bukan karena siapa-siapa. Memang sudah waktunya."

"Kak, aku ingin memeluk Arya"

"Ikhlaskan dia Lin. Kakak tahu kamu pasti kuat."

Aku memeluk Arya tepat dihari ulang tahunku. Aku memeluk Arya tepat satu jam sebelum pemakamannya.

CELOTEH Dalam Diam Ku MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang