"Maafin aku Lang, bahkan sampai hari ini, enam bulan sejak kepindahanmu ke Jakarta, aku masih terus mengenangmu. Bukan sebagai sahabat, tapi lebih"
Rena menatap lurus ke depan, kosong. Entah apa yang dia pikirkan, dan entah apa yang dia cari ditempat ini. Hampir setiap hari sejak kepindahan Erlang ke Jakarta, Rena selalu mendatangi tempat ini. Bukan untuk menangis. Bukan untuk bercerita. Karena Rena memang terlihat diam, hanya menerawang, tidak menangis, juga tersenyum.
Ita merasa khawatir dengan tingkah sahabatnya itu. Setiap ditanya, Rena hanya diam dan selalu mengatakan semua baik-baik saja. Hingga suatu hari, Ita berniat menyusul Rena ketempat itu. Di sebuah pantai kecil diujung kota Yogyakarta. Tidak dekat memang. Hal itu yang menambah kekhawatiran Ita.
"Ren, kalau memang kamu ingin menangis, menangislah"
Rena tak bergeming dari diamnya. Menolehpun enggan. Tiba-tiba Ita memeluk Rena dan menangis.
"Ren, lihat aku dong. Kamu jangan seperti ini. Aku sayang kamu. Aku khawatir kalau kamu seperti ini terus. Bicaralah Ren. Aku mohon"
Terlihat aliran bening mengalir di pipi Rena. Rena menunduk dan tangisnya tak tertahan lagi.
"Ita."
Ita memegang tangan Rena begitu erat. Dia sangat berharap mendengar sesuatu dari sahabat karibnya itu. Mereka memang seumuran. Namun Ita jauh lebih dewasa daripada Rena. Rena sangat labil dan susah ditebak.
"Apa aku salah bila menyukai senja?"
Ita hanya melongo. Dia nggak ngerti apa maksud Rena dan berharap Rena bicara lebih panjang lagi.
"Jawab Ta, katamu kamu pengen denger aku ngomong sesuatu."
"Ehm. Senja?" Ita menunjuk kearah senja di ujung barat pantai.
"Kamu harus berani jujur Ren, tidak baik seperti ini terus. Bukan senja yang kamu sukai. Tapi orang yang sering menikmati senja bersamamu."
Rena terlihat kian menunduk, menangis, dan isaknya nggak bisa dia tahan. Semakin lama semakin keras.
"Ta, kalau kamu saja tahu, seharusnya dia tahu."
"Sekarang gini Ren, aku tahu Marlo suka sama aku. Dari tingkah dia, cara dia memperlakukan aku dan lain sebagainya. Tapi dia tidak pernah bilang langsung. Sekalipun nggak. Terus aku harus bertanya ke dia?"
"Tahu maksud aku kan?"
"Semua harus diungkapin Ren, tidak cukup hanya dengan tindakan. Apalagi selama ini kalian bernaung dibawah kata persahabatan."
"Kamu tidak boleh membiarkan hatimu galau terlalu lama
Dua sahabat itu terlihat berlalu meninggalkan senja yang terus menatap pilu kearah mereka. Senja menangis untuk Rena.
***
"hallo"
"Hai, Lang. Apa kabar?"
"Baik. Kamu?"
"Baik. Sangat baik malah. Ren, aku mau cerita. Aku ketemu cewek cantikkkkkkk banget. Dan tau nggak, dia sekantor sama aku. Mirip kamu, cuma dia lebih tinggi."
"Ouh. Terus?"
"Ehm, sejauh ini sih aku baru tahu namanya. Belum lebih. Pengen tau nomor telponnya. Tapi malu tanyanya. Tapi aku yakin, nggak lebih dari 3 hari aku udah tahu nomor telponnya dan kita pasti langsung deket. Sepertinya dia juga merhatiin aku. Secara aku ganteng gitu. Wkwkwkwkwkw."
Erlang sangat antusias membicarakan perempuan itu. Sedang Rena hanya mendengarkan saja. Entah mendengarkan atau malah memikirkan yang lain.
"Lang, aku ngantuk. Aku bobo dulu ya".
KAMU SEDANG MEMBACA
CELOTEH Dalam Diam Ku Menyapa
KurzgeschichtenDunia sudah terlalu bising. Aku tidak ingin menambah kebisingan itu. Dengan cara ini aku ingin menyapa kalian. Sudikah kalian berkomunikasi denganku dengan cara demikian???? Tinggalkan jejak ya kawan!!! Terima kasih