DIA

44 0 0
                                    

Tiba-tiba saja aku merasa sangat dekat dengannya ketika aku duduk dibangku sekolah menengah. Karenanya aku terlihat begitu istemewa di antara beberapa temanku.

***

Lampu kamarku tiba-tiba menyala. Saat itu waktu tepat menunjukkan pukul 00.00 WIB. Ayah membangunkanku dikala lelap tidurku. Ayah tidak berkata apa-apa. Hanya raut wajahnya begitu duka dan tergambar kesedihan yang sangat diwajahnya. Ayah tidak menangis. Namun aku tahu sebenarnya ayah ingin menangis. Terlihat genangan air di ujung matanya. Aku peluk tubuh ayah dan akhirnya kita sama-sama meneteskan air mata.

Sepertinya malam telah membungkam keluargaku. Ayah berjalan keluar tanpa bersuara menuju kamar di mana ibu terlelap ditidur panjangnya. Aku hanya diam karena tak tahu harus berbuat apa. Sebenarnya aku ingin menangis lebih lama, meronta, berteriak, tapi tidak bisa. Yang bisa aku lakukan hanyalah membuka buku coretanku dan menuliskan satu kalimat Ibu, bagaimana aku menjalani hari-hariku bila tanpa kamu?

***

Hari ini, tepat di hari kematian ibu, sebenarnya dia sudah datang. Namun aku belum menyadarinya.

***

Waktu terus berjalan dan kulalui hidupku dalam sepi. Tanpa kusadari sudah genap 2 tahun ibu meninggalkan aku dan ayah. Selama 2 tahun itu pula kuhabiskan waktuku bergelut dengan lembaran kertas kosong. Puluhan lembar puisi dan cerpen terlihat memenuhi rak meja belajarku. Sejak sepeninggalan ibu memang aku selalu menumpahkan seluruh isi hatiku dalam lembaran-lembaran kertas kosong. Dulu, ketika ibu masih hidup dia yang selalu menjadi pendengar setiaku.

Ayahku memang jarang di rumah. Dia adalah seorang dokter. Separuh lebih waktunya dia habiskan di rumah sakit dan di klinik di mana dia praktek. Ayah sangat menginginkan aku mengikuti jejaknya. Terlihat jelas ketika ada beberapa temannya menanyakan cita-citaku, dengan cepat ayahku selalu menjawab aku ingin menjadi dokter. Padahal aku sendiri belum tahu aku ingin menjadi apa. Namun aku tak menolak jawaban ayah, juga tak mengiyakan.

Wajah ayah terlihat begitu kecewa ketika aku kalah dalam lomba dokter kecil. Ayah tidak marah, namun terlihat jelas kekecewaan di raut wajahnya. Untuk menebus kekalahanku, suatu hari dengan bangga aku membawa pulang sebuah piala. Dari jauh sudah tampak senyum kebahagiaan di wajah ayah. Segera aku berlari dan berusaha memperlihatkan pialaku padanya. Ketika terlihat olehnya tulisan pemenang pertama lomba menulis puisi, wajah ayah berubah drastis. Aku tahu yang ayah harapkan memang bukan ini. Aku bingung dengan sikap ayah. Kalah tak senang, menang pun demikian. Lalu apa yang ayah mau?

***

Waktu aku berumur 5 tahun aku ingin menjadi polisi

Hari berganti, cita-citaku pun ikut berubah

Aku ingin jadi penari

Tak lama setelah itu, aku ingin jadi penyanyi

Namun semua berubah

Ketika aku membaca beberapa puisi karya Chairil Anwar

Aku ingin menjadi penulis terkenal

Maafkan aku ayah, aku tak ingin menjadi dokter

***

Hari ini, ketika aku merasa tertekan oleh desakan ayah, sebenarnya dia juga datang. Namun aku belum menyadarinya.

***

Kulepaskan seragam sekolah dasarku, berganti seragam putih biru. Aku berusaha mengawali semua dengan baik. Aku ingin seperti ibu, menjadi sahabat dan pendengar yang baik. Aku ingin menjadi teman yang baik buat teman-temanku. Namun tak bisa kupungkiri, aku memang tak seceria dulu ketika masih ada ibu. Hanya beberapa teman yang aku kenal. Aku sedikit tertutup dan banyak diam ketika berkumpul dengan teman-teman. Aku tak bisa bercerita panjang lebar. Buku dan lembaran-lembaran kosonglah sahabat setiaku.

CELOTEH Dalam Diam Ku MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang