SENJA DAN BUNGA

51 0 0
                                    

Ibu memberiku nama Bunga tentu bukan tanpa arti. Bunga itu indah, wangi, dan cantik tentunya. Namun aku terlahir sebagai gadis biasa bahkan banyak kekurangan melekat dalam diri saya.

"Bunga bangkai, bunga bangkai, bunga bangkai", teriak teman-teman kecilku.
Aku tidak membalas ejekan mereka karena memang aku tidak bisa. Aku hanya diam dan menangis.

"Ayo Bunga, kamu bermain bersamaku saja".

Senja memang selalu hadir ketika aku sering diejek oleh teman-temanku. Usianya 4 tahun lebih tua di atasku. Aku merasa terlindungi olehnya.

Kujawab ajakannya dengan gelengan kepala.

"Ya udah, aku antar kamu pulang ya?"

Tanpa menunggu jawaban dariku, Senja menarik tanganku dan menuntunku pulang. Senja mengantarku sampai ke halaman rumah kemudian dia berlari menuju rumahnya yang memang tidak jauh dari rumahku.

"Ada apa lagi Bunga? Teman-temanmu mengejekmu lagi? Senja juga yang mengantarmu pulang? Sampai kapan kamu terus seperti ini Bunga?" Ibu terus meberondongiku dengan banyak pertanyaan yang aku sendiri tidak bisa menjawab.

Pagi hari, ketika teman-teman sebayaku pergi ke sekolah, aku hanya bisa melihat keceriaan mereka dengan tas di punggung dan beberapa buku di tangan tanpa bisa aku merasakan. Seandainya saja aku bisa seperti mereka, tentu aku sudah duduk di bangku kelas 2. Walaupun tidak sekolah, aku bisa membaca dan menulis. Ibu yang selalu mengajarkanku. Senja juga sering meminjamiku buku-buku pelajarannya.

"Mengapa kamu tidak sekolah saja Bunga? Sebenarnya kamu pandai lho." tanya Senja.

Dalam hatiku memang punya keinginan untuk bersekolah seperti teman-teman. Tapi keadaanlah yang membuatku harus menerima keadaan ini. Sampai suatu ketika keinginanku untuk bersekolah tak terbendung lagi. Aku menyampaikan keinginku itu pada ibu. Ibu hanya tersenyum.

Beberapa bulan setelah itu memang aku terdaftar sebagai salah satu siswa di sebuah sekolah. Memang aku bersekolah tak sama dengan teman-teman. Kulalui hariku dengan ceria. Di sini aku bisa bercanda dengan teman-teman sebaya tanpa ada ejekan dan hinaan.

Waktu terus berlalu dan keadaan tak banyak berubah. Hanya saja sekarang aku jarang bertemu dengan Senja. Pahlawanku dikala aku diejek teman-temanku. Senja sudah lulus SMP dan melanjutkan di sekolah yang memang agak jauh dari rumah. Kala itu aku berumur 12 tahun.

Kutunggu kamu di bukit ujung desa kita. Kutemukan secarik kertas diselipkan di jendela kamarku. Aku tahu itu dari Senja. Dengan cepat aku berlari ke arah bukit yang dimaksud senja. Namun senja tak ada di sana. Ku putuskan untuk menunggu. Matahari hampir tenggelam, langit cerah berubah kecoklatan. Ketika ku ambil langkah untuk kembali ke rumah, Senja muncul.

"Maaf aku telat. Bapak Kumat" kata Senja.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Memang aku tak pernah bisa marah pada Senja. Entah mengapa aku juga tidak tahu. Mungkin karena Senja sudah begitu baik padaku.

"Bunga, tanpa sengaja kemarin aku mendengar ibu marah sama kamu. Aku memang anak seorang bapak yang kurang waras. Aku juga cucu seorang gila. Apa kamu malu berteman denganku?"

Aku begitu kaget Senja mendengar percakapan ibu. Aku sangat merasa bersalah. Hati Senja mungkin begitu hancur tak berbentuk lagi. Aku hanya diam dan di kertas kosong yang sengaja aku bawa kutuliskan beberapa kalimat. Kalaupun kamu anak dari seorang bapak yang gila, aku tak mempermasalahkannya. Toh aku tidak lebih baik dari keadaanmu. Bahkan aku tidak tahu siapa ayahku.

"Tapi ibumu keberatan kamu berteman denganku Bunga"

Tapi aku senang berteman denganmu.

Senja begitu terharu dengan kalimat terakhir yang ditulis Bunga. Senja ingin memeluk Bunga namun diurungkannya. Hanya kata terima kasih yang terlontar dari mulut Senja.

CELOTEH Dalam Diam Ku MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang