PAHLAWAN (?)

112 23 11
                                    


Ada satu lirik dari pedangdut, bilang, "hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga"—dan jikalau itu memang benar adanya, mungkin hal itu tidak berlaku di tempat ini, di SMA Bakti Mu Negri. No-tidak, mana ada nama sekolah macam itu? Nyatanya, memang tidak ada. Yang ada, SMA Bakti Dharma, itu baru benar.

Oke, balik lagi. Kenapa perkataan dari lirik pedangdut satu itu tidak berlaku disekolah ini? Ya, tentu saja, tidak. Karena, taman sekolah ini akan tetap berbunga selagi masih ada Pak Dungu, sang penjaga sekolah yang ditugaskan untuk perihal bersih-bersih serta menyirami tanaman yang tumbuh disekitar area sekolah.

Jadi, lirik itu tidak benar-benar berguna bukan?

Sekolah ini, SMA Bakti Dharma, akan benar-benar tidak bernyawa jika tanpa adanya sang pahlawan tanpa topeng seperti di film-film yang dieluh-eluhkan oleh para balita ataupun anak-anak yang baru saja menginjak usia 10 tahun. Seperti ini.

"test.. test.." suara berat milik seseorang yang disebut-sebut sebagai pahlawan tanpa topeng itu menggema di ujung lapangan yang akan segera dipakai untuk berjalannya upacara, namun, ia terlebih dulu menggunakan mic yang seharusnya akan dipakai oleh seorang protocol yang akan memadu jalannya upacara itu untuk melanjutkan pembicaraannya, entah apa itu.

Anak-anak dari penjuru kelas manapun seperti biasa segera berlari berondong-bondong untuk melihat peristiwa apa yang akan dilakukan oleh sang pahlawan di pagi ini, 06.30.

"ah! Mic-nya jelek, Do. Ganti! Itu udah banyak bekas muncratan ludah orang" beritahu sang pahlawan dengan wajah sepet— kala melihat mic yang baru saja ia pegang.

Seorang laki-laki dengan rambut belah pinggir dan pomade yang menggumpal itu segera mengambil alih mic tersebut dari tangan sang pahlawan dan buru-buru menggantinya dengan mic yang lain, yang entah darimana ia dapatkan.

"ehem!"

"nah, baru enak, suara gue udah setara sama Adam Levine kalau gini" senyum bangga sang pahlawan, kala kembali mencoba mic yang baru temannya itu berikan.

"udah kumpul semua belum, nih?" tanya sang pahlawan dengan berteriak sekencang mungkin— padahal ditangannya sudah ada mic yang bertengger dan menyala.

Semua berteriak riuh, bahkan beberapa dari murid laki-laki, melemparkan topinya keatas langit biru di pagi itu sambil berteriak "WAN! PUISI SENIN PAGI WAN, BIASAAAAAA!"

Sang pahlawan terkekeh dari sudut lapangan, seraya berancang-ancang layaknya presiden yang akan segera memberikan pidato dihadapan seluruh rakyatnya.

Senin.

5 huruf, satu kata.

Satu kata, 5 huruf.

"ATUH LAH, WAN! LAMA AMAT PUISINYA!" teriak Dani, selaku murid kelas XII.

Senin..

5 huruf, satu kata.

"ALAH WAN! KELAMAAN KAMU MAH!" teriak Dadang— anak dari Pak Dungu yang baru saja pindah dari Sumedang karena mendapatkan beasiswa di sekolah ini.

Senin..

5 huruf, satu kata.

Satu kata, 5 huru—"

"MELO! NGAPAIN KAMU MAKE MIC BUAT UPACARA! CEPET KASIH MIC ITU KE SUSI, INI SUDAH MAU JAM 7! CEPAT!"

Dan teriakan dari Bu Susilawati , menghentikan rencana puisi yang baru saja hendak dibacakan oleh sang pahlawan. Serta desahan nada kecewa begitu terdengar jelas dari hampir seluruh murid yang sekian lama sudah menanti-nanti puisi yang akan dibacakan oleh sang pahlawan sekolahnya itu.

"AH, NGGA SERU BU WATI!" teriak mereka kompak, seolah telah janjian sebelumnya.

Bu Wati memelototi tajam para muridnya itu untuk segera berbaris dengan rapih dilapangan, karena upacara 3 menit lagi akan segera di mulai. Hingga matanya memutar untuk menatap sang pahlawan keributan di pagi ini. "MELO! KAMU SEGERA BARIS ATAU KAMU YANG AKAN IBU JADIKAN BENDERA SUPAYA DIGANTUNG DI TIANG ITU!?"

Sang pahlawan, yang di panggil Melo oleh Bu Wati itu hanya berdecak malas sembari meledek "nyuruh baris mulu, kayak induk itik" ucapnya kemudian sembari berbalik. Bu Wati hanya mendengus tak menghiraukan jawaban dari anak muridnya satu itu, karena waktu kian benar-benar telah menunjukan pukul 07.00 .

Satu Warna MelodieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang