"Berhubung minggu depan kita akan mengadakan Perkemahan Besar, maka kegiatan kita hari ini adalah mencoba membangun tenda," ucap Ibu Ratih, dengan toa di tangan kanannya.
Terdengar beberapa lenguhan yang keluar dari teman-temanku. Matahari siang ini rasanya sangat menyengat ubun-ubun kepalaku. Bahkan ini baru pembukaan, rasanya aku sudah tidak sabar untuk pulang dan mengguyur tubuhku dengan air.
Seperti biasa, kegiatan pramuka wajib selalu menjadi hal yang menyebalkan untuk murid kelas sepuluh. Mungkin bisa dihitung jari yang antusias dengan kegiatan ini. Alasan mereka tidak menyukai kegiatan ini rata-rata karena mereka dipaksa berpanas-panasan. Dan jika kalian bertanya kepada yang antusias dengan kegiatan ini, kira-kira jawabannya karena salah satu pengurus inti pramuka sekolahku ini sangat tampan.
Namanya Kak Juna, lelaki yang sedang bolak-balik membagikan tenda kepada masing-masing sangga yang ada. Tak sekali-dua kali aku melihat sangga wanita yang histeris setelah mendapat tenda secara langsung dari Kak Juna. Mungkin, termasuk sanggaku. Aku memutar bola mataku malas ketika melihat gelagat salting dari teman-temanku seusai dihampiri oleh Kak Juna. Terlebih teman tergilaku yang sekarang sedang berteriak histeris di sampingku. Sungguh, terkadang aku malu memiliki teman sepertinya...
Sesaat kemudian, kami semua sibuk merangkai tenda, sebenarnya tenda yang disediakan oleh sekolah ini sangat gampang dirangkai, jadi tanpa dibantu oleh kakak pengurus inti pramuka pun, kami bisa melakukannya. Namun tetap saja manusia dengan kadar modus yang sangat mengkhawatirkan seperti Sasya-temanku-selalu menjunjung tinggi kesempatan-kesempatan modusnya itu. Lihatlah apa yang dilakukannya sekarang, ia memanggil Kak Juna untuk dimintai pertolongan, hanya karena ia tidak tahu cara melipat kembali tendanya. Padahal jelas-jelas tadi sudah diajari oleh Kak Tia.
Karena malas melihat adegan modus teman-temanku, aku memilih mundur dan berdiri di bawah naungan pohon sambil tetap menatap teman-temanku bersama Kak Juna. Dapat kulihat, Kak Juna sudah selesai membantu para gadis ganjen itu. Namun tak perlu menunggu lama, sesuatu unsur yang bernama modus itu kembali bertimbulan. Dilihat-lihat, kasihan juga Kak Juna, lihat bajunya sampai basah oleh keringat saking banyaknya modus yang harus ia ladeni, hahaha.
"Woy!"
"Astagfirullah, ngagetin aja sih kamu, " ucapku, seraya menatap Sasya sengit.
"Kinan, gue haus banget, Gerah juga," rengek Sasya.
"Tumbenan ngeluh, biasanya kalo pramuka paling semangat deh liat keringatnya si Kak Juna."
"Itu cuma pemuas nafsu, kan gue sekarang lagi membutuhkan pemuas dahaga," ujar Sasya cengengesan.
"Ya ampun, bahasa kamu, Sya. Lagian mau gimana lagi? Ke kantin juga gak boleh, kan?" Sasya hanya bergeming di tempatnya seraya nengerucutkan bibirnya.
Kusapukan pandanganku ke sekeliling lapangan, di sisi timur sana ada Kak Juna yang sedang membantu melipat tenda dengan keringat yang membasahi wajah dan tubuhnya. "Coba liat, Sya, idola kamu tuh keringatnya menggelora,"
"CIEEEEE KINAN, AKHIRNYA LO MENUNJUKAN CIRI-CIRI NORMAL. GENGSSS KINAN SUKA KAK JUNA!" Mataku terbelalak mendengar Sasya berteriak kepada teman-temanku yang lain.
Lalu diikuti sorak sorai dari teman-temanku.
•••
"Udahan dong Kinan ngambeknya, gue kan cuma bercanda tadi. Maafin gue, ya?" Entah sudah keberapa kalinya Sasya mengulangi kalimat itu, yang jelas aku masih kesal.
Sudah cukup malu rasanya ketika mengingat kejadian tadi. Terlebih reaksi Kak Juna yang cuek seakan hal tadi merupakan hal yang biasa is jumpai. Padahal aku yakin seratus persen bahwa Kak Juna mendengar, karena teriakan Sasya itu sungguh amat sangat memekakan telinga setiap insan. Aku tahu itu berlebihan, ya, kalian bisa membayangkan sendiri bagaimana teriakan Sasya.
Dipikir-pikir, mungkin bagi orang seperti Kak Juna memang sudah biasa. Kalo kata Sasya sih, dia itu 'gebetan sejuta umat'.
"Ki, maafin gue, ya."
Mendengar nada memohon Sasya seperti itu membuatku tak tega. "Ya, lagian kamu teriaknya kencang banget. Kamu kan tau aku gak suka jadi pusat perhatian."
"Iya, Ki. Gue tau banget, maaf."
Kurentangkan kedua tanganku, Sasya mengerti segera menghampiriku. "Gakpapa kok," ucapku di tengah pelukan kami. Beginilah cara kami menyelesaikan masalah. Walaupun kadang Sasya menyebalkan dan kekanak-kanakan, ia yang paling mengerti aku dari teman akrabku yang lain bahkan keluargaku sendiri. Masalah kecil seperti ini tidak berarti apapun dalam persahabatan kami. Sudah sering terjadi, jika dalam kurun waktu seminggu aku tidak berkelahi dengannya, itulah yang harus dicurigai.
Sekarang kami di taksi dalam perjalanan ke super market untuk membeli beberapa kebutuhan yang sekiranya diperlukan ketika berkemah minggu depan. Malas sekali rasanya mengingat kemah, pasti melelahkan. Apa ya, bukannya manja, hanya saja aku kurang suka dengan acara seperti itu, jika boleh bolos aku akan dengan senang hati mengisi waktu tiga hariku dengan menamatkan novel series yang baru kubeli beberapa hari yang lalu. Tapi sayangnya tidak, jika aku tidak ikut tahun ini, maka aku harus menyusulnya tahun depan yang berarti bergabung dengan adik kelasku nanti dan jika aku tetap tidak ikut tahun depan, aku tidak akan naik ke kelas duabelas. Kejam sekali, bukan?
Ya sudah, lah. Terima saja nasibmu, Kinan. Sepulang dari kemah nanti masih ada hari minggu dan satu hari libur tambahan untuk membaca novel series-mu itu.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Hari Penuh Memori
Teen FictionKinan si Gadis Manis Pemalu. Kinan bisa dibilang manusia anti sosial, dia memiliki kepercayaan diri yang nol besar, dia lebih memilih bersembunyi di dalam kelas saat istirahat maupun acara-acara yang sedang dirayakan sekolah. Aku mulai mengenalnya s...