Ini hari ketiga, hari terakhir, hari aku akan meninggalkan perkemahan ini. Rasanya masing janggal saja, serasa ada yang belum selesai. Entah akan selesai nanti setelah perkemahan ini, atau menggantung begitu saja. Yang pasti aku merasa kurang 'pas'.
Pagi ini aku bangun lebih pagi—lagi—dari yang lain, karena aku dan Fina pagi ini bertugas mengolah sarapan. Kami sudah bersepakat akan membuat kwetiau goreng. Fina bertugas merebusnya dan aku yang akan membumbuinya, bumbunya sendiri sudah aku siapkan dari rumah, hanya perlu mengosengnya dan mencampurkannya dengan kwetiau. Kalau kata Sasya, sih, kwetiau goreng olahanku itu juaranya. Punya rasa tersendiri. Berlebihan sekali memang, padahal kurasa bumbunya sama dengan kwetiau yang lain. Menu pagi ini pun atas rekomendasi dari Sasya, sehingga yang lain juga setuju. Untung membuatnya gampang saja.
Aku sebenarnya cukup akrab dengan berbagai alat dapur seperti ini. Maka aku tidak akan merasa keberatan jika hanya memasakkan mereka sarapan seperti ini, pun bahkan jika harus memasakkan mereka dari hari pertama, sayangnya harus dijadwal rata. Dengan cekatan aku memasukkan bumbu-bumbu yang sudah aku siapkan ke kwetiau, mencampurnya sampai rata dan terus mengaduknya sampai warnanya menjadi sedikit kecoklatan.
Setelah sudah masak, kumatikan kompor portable-nya lalu aku dan Fina membagi rata ke masing-masing piring yang sudah dikumpulkan. Aku sendiri tidak membawa piring, melainkan tempat bekal. Karena aku biasanya makan lamaaa sekali. Jadi Mama menyarankan bawa kotak bekal saja, biar kalau gak sempat dihabisin bisa ditutup dan dilanjutin nanti atau dibawa ke mana-mana. Dan aku setuju-setuju saja.
Tidak lama kemudian, Sasya dengan suara cempreng khasnya bersama teman-teman yang lain menghampiri kami.
"Wiiihhh, kwetiau kesukaan gue, nih!"
"Suara kamu, deh, Sya. Gak bisa dikontrol sama sekali."
"Kan, gue excited. Punya gue dibanyakin, ya, Ki," pintanya yang hanya kubalas dengan gumaman.
Semua sudah kebagian dan makan di dalam tenda, sedangkan aku dan Sasya memilih makan di depan tenda. Kata Sasya menikmati suasana sekitar, karena sebentar lagi kami akan pulang. Tidak apa-apa lah, sesekali makan di luar seperti ini karena yang lain kebanyakan masih sibuk dengan masakannya. Aku masih fokus mengunyah makananku ketika Sasya tiba-tiba saja memukul bahu kananku.
"Kenapa sih, Sya? Mau nambah? Ambil aja, masih banyak, kok."
"Gue punya ide cemerlang, Ki!"
"Ide? Ide apa? Gak usah aneh-aneh, Sya."
"Ih, lo tuh, ya. Selalu cap ide gue ini aneh-aneh, nanti aja kalau gue bilang lo pasti bilang makasih ke gue."
"Ide apa emangnya?"
"Kan, kwetiaunya masih lebihan tuh, lo kasih aja Kak Juna. Bilang aja untuk ucapan terima kasih karena kemarin udah nolongin lo."
Aku diam. Bingung. Aku...
"Malu?" Tepat sekali. "Kapan sih lo keluar dari ke-ansos-an lo itu? Katanya kemarin mau minta maaf."
Aku memikirkannya sekali lagi, ya, ada benarnya. Dan tentang, kapan sih aku keluar dari ke-ansos-an ini? Tidak tahu.
"Oke, tapi gimana?"
"Gimana apanya? Yang sekarang harus lo lakuin adalah cepet habisin makanan lo, cuci, siapin bekalnya, terus kasih deh ke dia. Segampang itu."
Aku mengangguk paham, lantas mempercepat makanku walau tetap kalah cepat dengan Sasya. Aku kadang bingung dengan orang-orang seperti Sasya, ngunyah gak, ya?
•••
Aku duduk termenung di dalam bus kelasku, memikirkan ekspresi Kak Juna tadi saat aku memberikannya bekal.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Hari Penuh Memori
Подростковая литератураKinan si Gadis Manis Pemalu. Kinan bisa dibilang manusia anti sosial, dia memiliki kepercayaan diri yang nol besar, dia lebih memilih bersembunyi di dalam kelas saat istirahat maupun acara-acara yang sedang dirayakan sekolah. Aku mulai mengenalnya s...