5. Hari Kedua Perkemahan Besar (pt. 2)

23 5 3
                                    

Aku berjalan sendirian setelah melaksanakan ibadah pagiku tadi, Sasya yang katanya ingin menyusul malah datang setelah kami selesai salat. Nyebelin, kan? Karena aku males nunggunya jadi aku duluan saja ke tenda. Sehabis ini aku berniat mencari Dina, karena dia merupakan salah satu anggota panitia saat Bulan Bahasa kemarin. Ya, aku ingin menanyakan perihal tugas Kak Juna.

Semoga saja sekarang Dina suasana hatinya sudah membaik.

Aku melihat Dina dan teman-teman yang lain sedang sibuk di tenda sebelah, tempat sangga kami memasak. Kami di sini memasak sendiri dengan bahan yang kami bawa sendiri pula, makanya kami memiliki jadwal untuk setiap jam makan. Jadwalku memasak masih besok pagi. Jadi aku segera meletakkan mukenaku lalu menghampiri Dina yang terlihat masih sibuk.

"Pagi, teman-teman," sapaku.

"Pagi, Kinan," jawab Ami dan Tia, tanpa Dina. Sepertinya masih sensi, nih, apa kuurungkan saja, ya? Tapi aku gak punya banyak teman OSIS. Yang aku tau hanya Dina.

"Ada yang perlu aku bantu, gak?" Basa-basi.

"Gak ada kok, Ki. Aman terkendali," balas Ami.

"Oke. Emm... Dina, aku mau ngomong bentar, bisa gak?"

"Lo gak lihat? Gue sibuk. Lagi masak."

Iya juga sih, tapi kapan lagi? Habis ini ada game.

"Sebentar aja, Din. Lima menit," bujukku lagi.

"Gak papa kok, Din. Nanti biar gue sama Ami yang gantiin. Lagian tinggal di goreng aja kok ini."

"Ya udah, ayo," ajaknya lalu bangkit setelah—entah sengaja atau tidak—membanting sendok nasi yang tadi di tangannya. Aku terjenggit kaget lalu segera bangkit mengikuti Dina. Samar-samar aku masih mendengar pertanyaan heran yang keluar dari mulut Ami karena kelakuan Dina.

Dina berhenti di dekat pohon, lalu aku segera berdiri di depannya.

"Ngomong apa?" tanyanya masih dengan nada enggan. Aku jadi tidak enak sudah mengganggunya.

"Jadi gini, kamu, kan, kemarin panitia Bulan Bahasa. Kamu tahu, kan, aku dapat tugas dari Kak Juna, kamu bisa bantuin aku gak cari kontaknya wakil ketua pelaksana."

"Gak tahu gue. Lupa. Tanya sama yang lain aja. Udah, kan? Gue balik."

"Eh, Din, tunggu dulu. Masa kamu lupa, sih."

"Iya, gue lupa. Kenapa? Lo mau apa?" tanyanya dengan suara yang lebih kencang. Astaga, ini orang gak bisa santai sepertinya. Biasanya Dina gak pernah kayak gini...

"Terus, siapa ya panitia lain yang bisa gue tanya, Din?"

"Gak tau. Cari aja sendiri. Bukan urusan gue." Lalu dia pergi begitu saja. Aku menghela napas lelah, begini banget ya. Padahal biasanya kalau aku sedang mens tidak se-bringas itu.

"Woy, Ki. Kenapa?" tegur Sasya di sampingku.

"Ini, aku tadi nanya ke Dina tentang tugas dari Kak Juna. Tapi dianya kayak gak suka gitu aku tanya-tanya."

"Ya udah, tanya ke yang lain aja. Itu, si belut bukannya panitia juga, ya?"

"Belut? Oh, Kak Frisca maksud kamu?"

"Iya lah, siapa lagi?"

"Tapi, kan, dia bukan panitia kemah. Kita juga kan gak ada handphone. Kamu gimana, sih? Dikumpulnya siang ini, nih," ucapku panik.

"Santai aja, Ki. Kita boleh pinjam handphone panitia, kok."

"Minjem siapa? Gak mau ah, aku takut. Cari yang seangkatan sama kita aja."

3 Hari Penuh MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang