6. Hari Kedua Perkemahan Besar (pt. 3)

17 3 2
                                    

"Halo, Jun. Kenapa lo?"

"Halo, Kak. Ini Kinan," sapaku sedikit ragu.

"Eh kok Kinan? Kok hape Juna bisa di kamu? Jangan-jangan kalian main belakang, nih!"

"Eng... engga kok, kak, aku pinjam buat telepon Kakak. Kan, kami gak boleh bawa hape." Aku belum bilang, ya? Kak Frisca ini orangnya sebelas-duabelas sama Sasya. Bahkan lebih parah, kalau Sasya mulutnya masih bisa direm, kalau Kak Frisca rem mulutnya blong.

"Cieee tumben nyari kakak, kenapa, Ki?"

"Mmm... Gi... Gini, Kak. Aku dapet tugas dari Kak Juna buat cari kontak line-nya wakil ketua pelaksana acara bulan bahasa angkatan ini. Kak Frisca, kan, panitia jadi kupikir kakak tahu. Siapa ya, kak?"

"Hah?"

"I... iya, Kak. Kakak pu... punya kontaknya, kan? To... tolong kirimin ke line-nya Kak Juna, ya, Kak," ucapku gugup, bukan karena berbicara dengan Kak Frisca, tapi manusia di depanku ini terus menatapku lekat.

"Kinan, tolong kasih teleponnya ke Juna."

Dengan bingung kuturunkan ponsel tersebut dan menyodorkannya ke si pemilik. "Ini, katanya teleponnya kasih ke Kakak." Lalu lelaki itu mengambilnya dengan senyum yang terus bertengger dibibir dan mata yang tetap diposisinya. Kenapa sih? Ada apa di wajahku? Tidak ada yang salah, kan, ya?

Kak Juna mengalihkan pandangannya yang kumanfaatkan untuk memeriksa wajahku dengan merabanya. Tidak ada apa-apa. Lalu aku terjenggit kaget ketika tawa kencang kembali terdengar dari manusia di depanku, astaga...

Lekas aku membalikkan badan seraya menunduk agar tidak ikut menjadi pusat perhatian. Mungkin Kak Juna sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, tapi tidak denganku. Sekarang rasanya aku ingin sekali menggali tanah yang kupijak lalu menenggelamkan diriku di sana. Aku berbalik, lantas memperhatikannya yang masih berusaha meredakan tawanya, tawanya terdengar renyah walaupun suaranya berat.

Good looking sekali.

Mungkin itulah yang membuat Sasya senang sekali menatapnya. Apalagi jika sedang tertawa seperti ini. Heh, ada apa denganku? Secara tidak langsung aku mengakuinya tampan, kan? Tidak, tidak. Ini salah. Tapi dia memang tampan, apa yang salah?

"Ya," ucap lelaki itu seraya kembali melirik ke arahku. Aku segera mengalihkan pandanganku, astaga aku seperti maling yang takut kepergok!

Kak Juna kembali menyodorkan teleponnya, segera kuambil lalu menempelkannya ke telinga."Halo, Kak. Gimana? Kakak punya?"

"Iya, Ki, nanti Kakak kirim langsung ke line kamu. Emang dasar ya itu si Juna. Kamu yang sabar ya, Ki."

Sabar? Sabar kenapa?

"Jangan ke line aku, Kak. Siang ini dikumpulin. Kan aku gak ada hape, Kakak langsung kirim ke Kak Juna aja."

"Kata si Junaidi kirim ke kamu aja."

"Junaidi?" tanyaku bingung seraya melirik Kak Juna yang sekarang wajahnya terlihat kesal.

Terdengar suara tawa dari seberang sana. "Maaf, Juna maksudnya."

"Oh gitu, ya udah, Kak. Makasih, ya. Maaf mengganggu."

"Gak papa, Ki. Sama-sama."

Lalu teleponnya dimatikan lebih dahulu oleh Kak Frisca. Aku mengembalikan handphone itu kepemiliknya.

"Terima kasih, Kak," ucapku, entah mengapa terasa canggung karena lelaki itu lagi-lagi terus menatapku. Membuatku hanya bisa menunduk.

"Katanya Kak Frisca, Kakak suruh Kak Frisca kirim kontaknya ke line aku aja. Padahal, kan, tugasnya dikumpulin siang ini," ucapku berusaha menutupi kegugupanku. Bingung juga sebenarnya kalimat tadi untuk apa, Malah terdengar seperti sedang mengadu. Ah, aku salah bicara.

3 Hari Penuh MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang